Banyak penelitian dan publikasi ilmiah menyatakan rokok membuat kecanduan. Sifat adiktif itu berakibat buruk pada kesehatan, juga finansial. Tanpa komitmen serius dan kebijakan yang kuat dari pemimpin negeri ini, epidemi tembakau perlahan, tetapi pasti akan menghancurkan sumber daya berharga bangsa ini, yaitu generasi muda. Dari aspek kesehatan, zat-zat racun di dalam rokok perlahan-lahan akan menggerogoti tubuh si perokok. Namun, tetap saja, hampir 65 juta penduduk Indonesia merokok. Sementara dari sisi ekonomi, ketagihan rokok bisa menguras uang. Berapa pun harga rokok, jika sudah kecanduan, orang akan tetap membelinya. Perokok akan berusaha agar mulutnya tetap mengepulkan asap rokok, padahal uang yang dimiliki sebenarnya bisa untuk hal yang lebih bermanfaat. Sebuah kenyataan yang menyedihkan bahwa sebagian besar perokok di Indonesia berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan tak terlalu tinggi. Penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) tahun 2009 menunjukkan, sebagian perokok adalah kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Pengeluaran terbesar rumah tangga miskin setelah makanan pokok adalah rokok, bukan pendidikan ataupun kesehatan. Adi Citra, pekerja bangunan di Jakarta Selatan, misalnya. Lelaki berusia 29 tahun itu menghabiskan rokok hingga dua bungkus sehari. Hampir setengah pendapatannya tiap hari untuk membeli rokok. "Sehari habis Rp 20.000 untuk rokok, kadang lebih. Pendapatan saya sehari Rp 50.000," ujarnya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sekali dalam dua minggu, Adi bisa mengirim uang Rp 300.000 kepada istrinya di Pandeglang, Banten. Kebiasaan merokok dilakukan Adi sejak berusia 10 tahun. Adi yang tak tamat sekolah dasar itu mengerti bahwa merokok mengancam kesehatannya. Ia sering batuk pada malam hari akibat merokok. "Saya tahu merokok tak baik untuk kesehatan. Tetapi, mau bagaimana lagi, susah dihentikan," ujarnya. Ketua Bidang Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo menyampaikan, seseorang yang tak bisa berhenti merokok telah ada di bawah kendali rokok. Jangankan berhenti merokok, untuk berpaling ke merek rokok lain saja sulit. Sifat adiksi pada rokok membuat orang yang mencobanya ketagihan. Setelah ketagihan dan mencoba lagi, ia akan mengalami ketergantungan. Seseorang yang amat bergantung pada rokok akan terus mengonsumsinya untuk waktu lama. Hal itu menyebabkan iklan rokok menyasar anak muda sebagai target utama. Makin awal seseorang merokok, ketergantungannya pada rokok kian kuat dan lama. Ia akan terus membeli rokok berapa pun harganya. Ketergantungan yang diciptakan memunculkan regenerasi perokok. Bagi industri rokok, inilah sumber pundi-pundi uang mereka. "Mereka mengeksploitasi ketidaktahuan dan karakter remaja yang mencoba banyak hal baru dalam hidupnya," kata Widyastuti. Jika epidemi tembakau tak diatasi, dalam dua dekade mendatang generasi muda Indonesia yang kini mulai merokok kemungkinan akan sakit dan tak produktif. Sementara keuangan negara tersedot biaya pengobatan penyakit terkait rokok yang diderita warga miskin yang menjadi peserta jaminan kesehatan. Selain itu, merujuk pada hasil sementara penelitian Muhammadiyah Tobacco Control Center, tata niaga tembakau tak berpihak ke petani tembakau. Wakil Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center Fauzi Ahmad memaparkan, perusahaan rokok melalui grader mutu daun tembakau menguasai tata niaga tembakau. Mereka menentukan harga daun tembakau petani. Posisi tawar petani lemah di hadapan para grader.

Instrumen pengendali

Karena dampak buruk rokok begitu luas, tak terbatas pada kesehatan, muncul instrumen pengendalian tembakau secara global, yakni Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Indonesia bukan termasuk negara para pihak FCTC. Padahal, perwakilan Pemerintah Indonesia berperan penting dalam perumusan FCTC sejak 1999. Satu dari enam pertemuan Intergovernmental Negotiating Body (INB) Southeast Asian Intersessional Consultation digelar di Indonesia dan menghasilkan Deklarasi Jakarta Juni 2011. Tahun 2015 ini adalah tahun kesepuluh FCTC hadir. Sudah 180 negara di dunia yang menandatanganinya termasuk Tiongkok sebagai produsen tembakau terbesar di dunia. Tahun 2013, LDUI melaksanakan kajian dengan membandingkan kondisi 19 negara peratifikasi FCTC pada tahun 2002 dengan 2011. Hasilnya, angka pengangguran 16 negara di antaranya turun 0,1-11 persen. Bahkan, tingkat kemiskinan di negara-negara itu menurun. Selain itu, pendapatan domestik bruto per kapita di semua negara peratifikasi FCTC yang diteliti justru meningkat. Tidak hanya itu, di banyak negara yang sudah meratifikasi FCTC, penerimaan negara dari cukai rokok justru naik. Menurut Widyastuti, secara logika, seorang kepala negara tak akan menyetujui sebuah instrumen hukum internasional jika itu merugikan negaranya. Jika ratifikasi terhadap FCTC dianggap melemahkan kedaulatan bangsa, tak mungkin 180 pemimpin dunia, termasuk negara penghasil tembakau terbesar, bersedia meratifikasi FCTC. Ratifikasi FCTC oleh mayoritas pemimpin negara menjadi gambaran bahwa mereka, para kepala negara itu, memiliki pandangan jauh ke depan. Ada manfaat yang bisa diperoleh dengan meratifikasi FCTC. Maka dari itu, menurut Widyastuti, amat mengherankan jika negara besar seperti Indonesia tidak berani mengaksesi FCTC. Muncul pertanyaan, mengapa manfaat di balik aksesi FCTC begitu sulit dipahami para pemimpin negeri ini, atau sebenarnya tak ada keinginan dari para elite bangsa ini untuk mengendalikan tembakau. Jangan sampai kita menuai bencana di masa depan karena pemimpin negeri ini menjadikan Indonesia sebagai keranjang sampah nikotin. Tak ada kata terlambat mengaksesi FCTC.

Artikel ini dimuat di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul "Cegah Merugi dengan Aksesi".