Bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, penulis diminta untuk berbicara mengenai sifat sesungguhnya dari aktivitas sosial industri pada acara yang diselenggarakan oleh Lentera Anak Indonesia.  Sebelum acara berlangsung, panitia mengirimkan lima pertanyaan kunci untuk kemudian dieksplorasi lebih jauh di dalam acara.  Kelima pertanyaan tersebut, dan jawaban yang penulis berikan adalah sebagai berikut ini.    
 
Dengan melakukan kegiatan yang diklaim sebagai CSRseperti beasiswa, tanam pohon, dukungan terhadap budaya—masyarakat melihat industri rokok itu baik. Apakah betul?

Salah satu tujuan dari perusahaan dari industri apapun ketika mereka melakukan berbagai aktivitas sosialnya adalah pembentukan citra (jangka pendek) atau reputasi (jangka panjang).  Citra dan reputasi yang hendak dituju oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah yang bersifat positif, sehingga pemangku kepentingan kemudian memandang perusahaan yang melakukannya sebagai perusahaan yang baik, atau setidaknya memiliki legitimasi untuk berbisnis.
 
Tujuan yang sama juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan rokok.  Baik melalui kegiatan yang langsung dilakukan oleh perusahaan, oleh yayasan perusahaan, maupun melalui pihak-pihak lain, mereka mencari legitimasi dan persepsi positif dari pemangku kepentingan, atau bahkan masyarakat luas.  Namun demikian, apa yang mereka lakukan itu sesungguhnya bukan merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) karena baik proses produksi maupun produk yang mereka hasilkan itu bertentangan dengan tujuan serta prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, selain tak bisa memenuhi ekspektasi dalam subjek inti tanggung jawab sosial.
 
Tujuan CSR adalah keberlanjutan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, demikian yang disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan global melalui dokumen ISO 26000.  Tujuan ini mustahil dicapai oleh industri rokok.  Ada banyak literatur yang sudah dituliskan para pakar yang membuktikan bahwa praktik industri rokok di level global bertentangan dengan tujuan keberlanjutan, terutama dalam aspek sosial dan lingkungan.  Pengabaian kesejahteraan petani dan buruh pabrik rokok—termasuk anak-anak yang terlibat di dalam industri ini—merupakan alasan utama tak bisanya keberlanjutan sosial dicapai.  Deteriorasi lingkungan yang parah terjadi karena pertanian dan pascapanen tembakau berdampak pada deforestasi yang massif; sementara puntung rokok yang dibuang sembarangan ke alam membuat tanah, air, dan hewan keracunan.  Kesejahteraan masyarakat menjadi sulit dicapai karena kelompok masyarakat miskin yang kecanduan nikotin merupakan konsumen utama dari rokok.  Di Indonesia, misalnya, konsumsi rokok merupakan pengeluaran nomor dua tertinggi setelah beras.  Rokok telah membuat keluarga miskin mengabaikan pendidikan, kesehatan, dan keperluan lain yang lebih penting, sehingga menjadi masalah yang sangat besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
 
Kalau praktik industri rokok kita periksa dengan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial—yaitu akuntabilitas, transparensi, perilaku etis, kepatuhan terhadap hukum, penghormatan kepada pemangku kepentingan, penghormatan kepada norma perilaku internasional, dan penegakan HAM—maka hasilnya adalah tak satupun prinsip itu bisa dipenuhi.  Penulis telah membuktikan hal ini dengan memeriksa satu per satu prinsip tersebut, lalu melihat praktik industri rokok global dan menuangkan dalam makalah bertajuk Corporate Social Irresponsibility: Tobacco Industry Fails International Standards (SEATCA, 2014).  Demikian juga, ketika seluruh subjek inti tanggung jawab sosial—yaitu tata kelola organisasi, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu-isu konsumen, dan pelibatan serta pengembangan masyarakat—dilihat ekspektasinya dan dibandingkan dengan praktik industri rokok global, maka hasilnya bukan saja sulit dipenuhi, melainkan juga mustahil.  Ini kemudian membuat penulis berkesimpulan bahwa industri rokok memang mustahil bertanggung jawab sosial.
 
Kesimpulan itu sebetulnya bukan hal yang aneh, karena pada tahun 2004 WHO sudah menyatakan bahwa terdapat kontradiksi inheren antara CSR dengan industri rokok.  Lewat berbagai metodologi, banyak pakar CSR juga sampai kepada kesimpulan yang sama (mis. Palazzo dan Richter, 2005).  Namun, lantaran industri rokok gencar melakukan aktivitas sosialnya, dan banyak di antara anggota masyarakat di Indonesia yang tidak paham atas definisi, prinsip dan subjek inti CSR, maka citra kebaikan industri rokok masih bisa diperoleh.  Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui bahwa konsumsi rokok telah membuat banyak sekali anak-anak dari keluarga miskin yang putus sekolah, sementara hanya segelintir saja yang mendapatkan beasiswa dari industri ini.  Industri rokok yang merusak hutan secara massif—di seluruh dunia 200.000 hektare hutan hilang setiap tahun karena industri ini—bisa dikira baik ketika melakukan penanaman ribuan pohon saja.  Demikian juga, berbagai event budaya didukung oleh industri rokok, padahal tujuannya bukanlah untuk mempromosikan budaya, melainkan lebih mempromosikan produk rokoknya.
 
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Arli, Rundle-Thiele, dan Lasmono (2015) dalam artikel berjudul Consumers’ Evaluation toward Tobacco Companies: Implications for Social Marketing yang terbit di jurnal Marketing Intelligence and Planning edisi terbaru mengungkapkan hal yang sangat penting.  Bagi para perokok, apa yang dilakukan oleh perusahaan rokok melalui aktivitas sosialnya membuat mereka memandang positif industri ini; sementara bagi bukan perokok, apa yang dilakukan oleh perusahaan rokok itu tidaklah menciptakan persepsi positif.  Dengan demikian, bagi kebanyakan pria dewasa Indonesia—yang majoritasnya adalah perokok—apa yang dilakukan oleh industri rokok itu mencapai sasaran.  Dan, mengingat usia mulai merokok semakin muda, maka akan semakin banyak pria Indonesia yang melihat aktivitas sosial industri rokok sebagai bentuk kebaikan.  Padahal, sebagaimana diuraikan di atas, sebetulnya itu semua bukanlah bentuk CSR.  Industri rokok mustahil menjadi industri yang bertanggung jawab sosial.              
 
Jika industri rokok tidak mungkin melakukan CSR, lalu bagaimana industri rokok harus bertanggung jawab atas produknya yang membahayakan, bahkan menyebabkan kematian?
Salah satu alasan yang membuat industri rokok tidak bisa ber-CSR adalah persoalan produknya yang membahayakan kesehatan, selain memiliki dampak negatif lainnya yang tak kalah besarnya.  Dampak kesehatan itu berupa sakit hingga kematian, dan hal ini sudah bisa dikuantifikasi dengan metodologi akuntansi kesehatan.  Mereka yang sakit akan kehilangan produktivitasnya sementara (dan artinya kehilangan pendapatan), dan membayar sejumlah biaya untuk pengobatannya.  Mereka yang mati mengalami kehilangan produktivitas secara permanen, tentu saja.  Berdasarkan metodologi tersebut Dr. Soewarta Kosen memperkirakan bahwa di tahun 2013, masyarakat Indonesia membayar lebih dari Rp387 triliun, sementara pada saat yang sama cukai rokok hanya berjumlah Rp103 triliun dan pajaknya Rp26 triliun (Kosen, 2014).
 
Dari sudut pandang CSR, angka-angka di atas menunjukkan masalah yang sangat sangat mendasar.  Beban biaya—atau lebih tegasnya: kerugian—yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia adalah berjumlah 3,7 kali lipat dibandingkan dengan cukai yang diperoleh.  Cukai sendiri adalah bentuk Pigouvian Tax atau Sin Tax, yang dibebankan kepada sebuah produk yang disepakati mendatangkan bahaya bagi masyarakat sehingga perlu dikendalikan peredarannya.  Namun, kalau besaran cukai itu ternyata jauh sekali di bawah nilai kerusakan yang timbul, maka industri itu masih jauh dari tanggung jawabnya untuk menggantikan kerusakan.  Hal ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa industri rokok memang tak bisa ber-CSR. Cukai idealnya bisa menggantikan seluruh kerusakan yang timbul dari produksi dan konsumsi produk rokok.  Tak ada pilihan lainnya, cukai harus dinaikkan.  Setinggi mungkin sehingga kelompok miskin tak bisa menjangkau harganya, dan kerusakan yang timbul bisa dikompensasi.
 
Namun, untuk menaikkan cukai, sangat perlu perhitungan yang lebih detail.  Perhitungan Kosen (2014) baru mencakup biaya kesehatan yang timbul, dan belum menghitung beragam dampak negatif lainnya. Dalam buku Corporate Social Responsibility: Readings and Cases in Global Context, Crane, Matten dan Spence (2013) menyatakan bahwa salah satu karakter CSR adalah internalisasi atas eksternalitas.  Ini berarti bahwa ekspektasi pemangku kepentingan global adalah perusahaan mengetahui secara persis seluruh dampak negatif yang ditimbulkannya, lalu mengelola itu hingga minimum, lalu memberikan kompensasi atas dampak negatif residualnya.  Hal yang sama juga berlaku untuk industri rokok.
 
Masalahnya adalah bahwa jelas sekali perhitungan yang menyeluruh akan membuat jumlah biaya yang timbul semakin membengkak.  Kalau perhitungan Dr. Kosen saja telah membuat biaya kesehatan itu sekitar 3,7 kali lipat cukai, maka perhitungan yang terperinci atas dampak ekonomi, sosial dan lingkungan mungkin akan membuat angka tersebut berkali-kali lipat lagi.  Tidaklah mengherankan kalau harga rokok di banyak negara jauh sekali berada di atas Indonesia, karena mereka telah berhitung dengan metodologi yang sangat kokoh.  Di kawasan ASEAN saja, harga rokok Indonesia adalah yang termurah, padahal sebagian besar anggota ASEAN ukuran ekonominya jauh di bawah Indonesia, pun demikian dengan pendapatan per kapita masyarakatnya.  Di Australia, rokok telah melampaui Rp200 ribu, di AS sekitar Rp150 ribu, dan di Singapura sudah lebih dari Rp100 ribu.  Pada tingkatan harga seperti itu, kerusakan yang timbul akibat produksi dan konsumsi rokok hampir bisa dikompensasi, dan konsumsi rokok bisa dibatasi.
 
Tentu saja, industri rokok juga bisa mengembangkan produk yang bahayanya lebih kecil bagi kesehatan konsumennya—dan mereka yang menjadi perokok sekunder dan tertier.  Harm reduction adalah tema dari kegiatan ini, yang diketahui diupayakan oleh berbagai produsen rokok global. Pengurangan kadar tar dan nikotin telah coba dilakukan.  Namun demikian, hasilnya tidaklah menggembirakan dari sisi kesehatan.  Ketika perokok berpindah ke rokok yang kandungan nikotinnya lebih kecil, apa yang terjadi adalah mereka merokok lebih banyak, karena tubuhnya meminta kandungan nikotin yang sama.  Gejala yang disebut sebagai compensatory smoking ini terjadi secara luas, sehingga permintaan akan rokok malahan meningkat, dan bahaya kesehatan tidak turun.  Satu-satunya yang diuntungkan di sini adalah industri rokok, yang profitnya semakin besar.  Oleh karena itu, kemudian harm reduction yang dilakukan oleh industri rokok tidak (belum?) bisa dilihat sebagai cara yang handal untuk meredam dampak negatif kesehatan.  Apalagi, industri rokok sendiri tidak melaporkan berbagai kemajuan kinerja dalam hal ini.                                     
 
Lalu ketika industri rokok jor-joran mengiklankan “kebaikannya”, tentu ada maksud dong? Apa ya maksudnya?
Di tingkat global iklan rokok sudah dilarang secara menyeluruh.  Namun, aktivitas sosial masih banyak dilakukan.  Penjelasannya adalah bahwa industri rokok terus mencari cara untuk mempertahankan legitimasinya sebagai industri yang legal, dan rokok adalah barang legal untuk diperjual-belikan.  Industri rokok sudah tidak lagi berpikir bahwa mereka memang mungkin dianggap sebagai industri yang berkinerja tanggung jawab sosial yang tinggi.  Bila tanggung jawab sosial didefinisikan secara normal, yaitu dalam kerangka pikir transformasional, maka industri rokok pasti gagal memenuhinya; industri rokok hanya dapat menjalankan bentuk tanggung jawab yang transaksional belaka (Palazzo dan Richter, 2005).
 
Aktivitas sosial tersebut terutama dilaksanakan di negara-negara berkembang di mana industri rokok belum mengalami penurunan pasar, dan ini dilakukan secara demonstratif dengan bentuk komunikasi yang massif.  Tujuannya bukan sekadar untuk mencari legitimasi sebagai industri yang legal, melainkan lebih jauh lagi, yaitu memberikan kesan sebagai industri yang bertanggung jawab sosial.  Ini dilakukan karena di negara-negara berkembang pemahaman atas CSR belum cukup baik, dan ada kecenderungan untuk menyempitkannya menjadi aktivitas sosial apapun, bahkan sekadar donasi perusahaan.  Para akademisi di negara berkembang—termasuk di Indonesia—juga belum sepenuhnya sadar atas pengertian CSR yang sebenarnya, dan terkesan membiarkan industri rokok—juga banyak industri lainnya—untuk menginterpretasikan CSR yang tak mengacu pada pengertian arus utama.
 
Dalam kondisi yang demikian, industri rokok memang lebih leluasa untuk membuat klaim soal kebaikan dirinya.  “Jasa-jasa” mereka terhadap petani, buruh pabrik, dan masyarakat luas bisa dipergunakan sebagai bahan iklan dan bentuk komunikasi korporat lainnya. Dengan komunikasi atas beragam aktivitas sosialnya, industri rokok bisa memberikan kesan bahwa dirinya bukan saja industri yang normal, seperti industri lainnya, melainkan bisa menjadi industri yang lebih baik.  Komunikasi atas aktivitas sosialnya dibuat dengan massif, sehingga memberikan kesan bahwa industri rokok itu lebih baik, walaupun apa yang dilakukan sesungguhnya tidaklah demikian.  Kalau dilihat dari sudut pandang donasi semata, industri rokok bukanlah yang paling besar sumbangannya, namun anggaran untuk komunikasinya jauh melampaui yang lain.  Hal ini menandai kehendak untuk tampil lebih kinclong dibandingkan dengan industri lainnya.    
 
Demikian juga, industri rokok masih bisa mensponsori berbagai event yang sesungguhnya bertentangan dengan sifat produknya sendiri.  Hal ini dilihat dengan sinis di banyak negara, namun di Indonesia masih juga terjadi, yaitu rokok mensponsori olahraga.  Konsumsi produk rokok yang membahayakan kesehatan hendak “dinetralkan” dengan mengaitkan antara rokok dengan olahraga.  Hasilnya, banyak orang yang kemudian berpikir bahwa rokok tidaklah berbahaya bagi kesehatan, atau setidaknya industri rokok itu berupaya untuk menyeimbangkan antara bahaya untuk kesehatan dengan upaya promosi kesehatan.  Upaya ini bisa berhasil di Indonesia, apalagi karena sejak lama—jauh sebelum pembicaraan mengenai dampak kesehatan rokok menjadi seramai sekarang—inudstri rokok nasional sudah mensponsori event-event olahraga.  Tak mengherankan kalau hal ini sulit untuk diubah.                                 
 
Apakah benar industri rokok itu cenderung manipulatif, menutupi fakta sebenarnya? Mengapa?
Kecenderungan untuk menutupi fakta tentang dampak negatif sesungguhnya bukan milik industri rokok saja.  Seluruh industri yang masuk ke dalam kategori controversial industries atau harmful industries memiliki kecenderungan untuk menutupi fakta-fakta tentang dampak negatif yang ditimbulkannya.  Industri perjudian, rokok, dan minuman beralkohol karena memiliki masalah legitimasi maka mengembangkan strategi khusus agar legitimasinya bisa dipertahankan selama mungkin (Reast, dkk., 2013).  Salah satu strategi tersebut adalah bentuk-bentuk komunikasi yang lebih intensif dibandingkan dengan industri yang kurang atau tidak kontroversial (Kilian dan Hennigs, 2014).
 
Namun sangat penting diperhatikan bahwa kategorisasi industri tersebut sangatlah cair.  Sebagai misal, ada banyak pakar yang memasukkan perbankan sebagai bagian dari industri kontroversial.  Lantaran kapitalisme keuangan sedemikian destruktifnya bagi dunia, telah mengakibatkan krisis ekonomi skala raksasa, maka industri perbankan dianggap kontroversial.  Para penggede perbankan menikmati pendapatan yang sangat besar, padahal mereka membuat jutaan orang sengsara karena keputusan-keputusannya tidaklah berpihak pada kesejahteraan masyarakat umum.  Industri minyak dan gas serta tambang batubara juga dimasukkan ke dalam kategori industri kontroversial karena kini telah timbul kesadaran tentang bahaya perubahan iklim.  Bahan bakar fosil adalah sumber utama emisi karbondioksida, dan emisi tersebut telah mendatangkan perubahan iklim, sehingga industri yang membuatnya dianggap sebagai “penjahat iklim” oleh banyak pengamat.  Apalagi kemudian industri migas dan tambang batubara terbukti melakukan tindakan-tindakan untuk menyangkal dan menunda tindakan untuk mengelola dampak perubahan iklim.
 
Bagi banyak pengamat industri rokok tetaplah berbeda, bahkan ketika dibandingkan dengan industri yang juga dimasukkan ke dalam industri kontroversial.  Minuman beralkohol membawa manfaat bila dikonsumsi secara tidak berlebihan. Industri perjudian dianggap bisa membuat perjudian menjadi lebih terkendali.  Industri migas dan batubara bagaimanapun menyediakan sumber energi yang diperlukan untuk beragam produksi dan transportasi.  Pengendalian dampak juga dilakukan oleh beragam industri tersebut, sehingga dampak negatifnya bisa diminimalkan, dan dampak negatif residualnya bisa dikompensasi.  Namun rokok tidaklah begitu.  Tak ada dosis merokok yang aman, sesedikit apapun selalu saja membawa risiko kesehatan.  Perasanaan tenang dan senang yang timbul dari rokok sesungguhnya berasal dari zat-zat yang mengakibatkan kecanduan dan berbahaya untuk kesehatan penghisapnya mapun orang-orang yang berada di sekitarnya.
 
Tidaklah mengherankan kalau kemudian industri rokok berusaha lebih keras untuk menutupi berbagai kenyataan tentang dampak negatifnya.  Dan dalam sejarah telah dibuktikan bahwa sesungguhnya industri rokok tahu persis tentang bahaya itu sejak tahun 1950an, namun hingga tahun 1990an mereka terus berbohong soal itu.  Ketika tujuh pimpinan perusahaan rokok global diminta bersumpah di hadapan Kongres Amerika Serikat di tahun 1994, semuanya menyatakan bahwa mereka yakin bahwa nikotin tidak menimbulkan kecanduan dan membahayakan kesehatan.  Empat tahun kemudian, di tahun 1998, industri rokok dipaksa untuk membuka jutaan halaman dokumen internal mereka sebagai bagian dari kewajiban dalam Master Settlement Agreement, dan di situ terkak bahwa sejak tahun 1976 terdapat inisiatif yang berkode Operation Berkshire yang bertujuan untuk menciptakan kontroversi dalam kaitan antara konsumsi rokok dengan penyakit-penyakit yang timbul.  Padahal, mereka tahu persis soal kaitan tersebut!
 
Karena kebohongan para eksekutif puncak tersebut, sangat sulit bagi publik untuk percaya kepada industri rokok global.  Namun hal itu tampaknya tidak berlaku di negara-negara berkembang.  Di wilayah ini, industri rokok masih saja terus menyembunyikan fakta tentang dampak negatifnya.  Proses produksi dan konsumsinya yang banyak membuat masalah sosial (terutama pelanggaran HAM, ketenagakerjaan, dan dampaknya pada kelompok miskin) dan lingkungan (terutama deforestasi dan dampak lingkungan dari pembuangan puntung rokok ke alam) belumlah diketahui secara luas, sehingga menutupinya bisa dilakukan dengan mudah.  Upaya pengalihan perhatian dari masalah-masalah sosial yang timbul dilakukan dengan donasi untuk beragam kegiatan seperti pemberian beasiswa, dan masalah-masalah lingkungan ditutupi dengan kegiatan seperti penanaman pohon.  Bila ditimbang secara saksama, dampak sosial dan lingkungan yang timbul sesungguhnya jauh lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan aktivitas sosial yang dilakukan industri rokok.  Lebih penting lagi, kebanyakan aktivitas sosial itu memang tidak terkait dengan dampak yang ditimbulkan, sehingga—sekali lagi—bukan merupakan bentuk CSR.
 
Jadi, memang industri rokok cenderung untuk menutupi fakta yang sesungguhnya, terutama karena mereka tak ingin bahaya merokok diketahui secara luas dan dikendalikan dengan serius. Mereka juga tak ingin masyarakat luas menyadari tentang berbagai dampak negatif sosial dan lingkungan yang timbul dari proses produksi dan konsumsi produknya.  Pengetahuan yang luas akan membuat mereka kesulitan menggunakan aktivitas sosial sebagai pengalihan perhatian, dan dengan demikian akan mengancam legitimasinya sebagai perusahaan normal.                        
 
Apakah bila Indonesia menandatangani FCTC, maka industri rokok akan bangkrut?
Tinggal segelintir negara yang belum menandatangani FCTC.  Indonesia adalah satu-satunya negara besar yang belum melalukannya.  Negara-negara lain yang belum menandatanganinya—yang jumlahnya tak lebih dari jumlah jari tangan manusia—berukuran jauh lebih kecil daripada Indonesia.  Negara dengan konsumsi rokok terbesar, yaitu Cina, menandatangani FCTC dan kini sudah mulai masuk ke pelarangan iklan, promosi dan pemberian sponsor sama sekali tidak bangkrut industri rokoknya.  Demikian juga dengan India, dan banyak negara lain dengan konsumsi yang besar.
 
Isu mengenai kebangkrutan industri rokok akibat FCTC sama sekali tidak memiliki dasar faktual.  FCTC memang kerap difitnah sebagai biang keladi beragam hal yang terkait dengan industri rokok di Indonesia, mulai dari tekanan terhadap harga tembakau di tingkat petani, hingga ramainya PHK buruh pabrik rokok.  Pada kenyataannya, selain Indonesia belum mengaksesi FCTC, regulasi yang ada juga masih jauh dari ekspektasi FCTC, sehingga tak masuk akal bila beragam hal itu dikaitkan dengan FCTC.  Harga tembakau yang murah, misalnya, jauh lebih terkait dengan kehendak industri rokok untuk mendapatkan bahan baku semurah mungkin.  Selain harga tersebut ditekan oleh para pedagang pengepul yang menjadi perpanjangan tangan industri, murahnya harga beli juga disebabkan karena tembakau lokal harus bertarung dengan tembakau impor yang bea masuknya ditetapkan nol rupiah.  Bagaimana mungkin petani tembakau bisa bersaing dengan struktur yang sangat timpang ini?  Demikian juga, PHK buruh rokok, sama sekali tidak terkait dengan FCTC.  Industri rokok telah menimbang bahwa mekanisasi akan semakin meningkatkan keuntungan yang mereka terima, sehingga memilih untuk mengganti buruh pabrik dengan mesin.  Ini dilaksanakan ketika produksi dan konsumsi rokok di Indonesia sama sekali tidak mengalami penurunan, jadi tak ada alasan selain peningkatan efisiensi dan profit saja.
 
Walaupun demikian, FCTC memang akan membatasi konsumsi rokok melalui perlindungan terhadap mereka yang bukan perokok.  Kawasan Tanpa Rokok, misalnya, adalah cara yang diperkenalkan untuk menjamin bahwa masyarakat luas bisa menikmati hak atas udara yang bersih.  Dengan demikian, perokok kemudian tidak bisa merokok sembarangan seperti yang disaksikan di Indonesia sekarang.  Secara perlahan ini akan mengurangi konsumsi rokok.  Larangan terhadap iklan, promosi, dan pemberian sponsor yang ditegaskan dalam FCTC akan membuat industri rokok berkurang kemampuannya untuk membujuk anak-anak dan pemuda untuk mulai merokok.  Ini secara perlahan akan mengendalikan jumlah perokok pemula karena pengetahuan anak-anak dan pemuda terhadap produk rokok akan menurun.  Demikian juga dengan berbagai pilar FCTC lainnya.  Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman dari seluruh dunia, penurunan itu akan terjadi secara perlahan, bukan tiba-tiba.  Ini memberikan kesempatan bagi petani, buruh, bahkan pemilik perusahaan rokok untuk beralih ke industri lainnya yang lebih kecil dampak negatifnya dan lebih besar dampak positifnya.  Bagaimanapun, industri rokok bukanlah industri yang kompatibel dengan masa depan yang berkelanjutan, sehat, dan sejahtera; sehingga sudah selayaknya ditinggalkan oleh seluruh umat manusia.
 

Jalal
Chairperson of Advisory Board
Social Investment Indonesia
 
Depok, Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei 2015