Menjelang Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei, gerakan #FCTCuntukIndonesia mengajak masyarakat bersama-sama menulis surat kepada Presiden Joko Widodo: memohon pemerintah segera menandatangani FCTC.
Singkatan dari Framework Convention on Tobacco Control, FCTC merupakan konvensi kerangka kerja dalam pengendalian tembakau. Inilah traktat internasional pertama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bertujuan memenuhi hak kesehatan setiap warga dunia. FCTC berfokus pada pencegahan agar orang jangan sampai merokok dengan mengurangi permintaan terhadap produk tembakau.
Adapun #FCTCuntukIndonesia adalah gerakan inisiatif kaum muda dari seluruh Indonesia untuk menggalang dukungan masyarakat agar Pemerintah Indonesia menandatangani FCTC. Kita sebagai bangsa memang pantas prihatin atas merajalelanya rokok di Indonesia. Menurut laporan WHO tahun 2015, prevalensi perokok Indonesia tertinggi di dunia. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, jumlah penduduk usia di atas 10 tahun yang setiap hari merokok mencapai 48,4 juta jiwa. Dari jumlah itu, 80 persen mulai merokok di usia 15-19 tahun.
Aturan pengendalian tembakau memang masih amat longgar di Indonesia. Atas nama cukai rokok, investasi perusahaan rokok asing dibuka hingga Rp 25 triliun pada akhir 2015, iklan dan sponsor rokok bertebaran di semua ruang publik, dan produk industri rokok multinasional menginvasi pasar. Kementerian Perindustrian bahkan terang-terangan menolak ratifikasi FCTC. Tak peduli banyak anak di bawah umur yang menjadi korban.
Kenyataan menunjukkan, jumlah cukai rokok yang diterima pemerintah tahun 2015 ”hanya” Rp 139 triliun. Bandingkan dengan belanja kesehatan Indonesia yang mencapai Rp 370 triliun (National Health Account, 2014), sebagian di antaranya untuk menanggulangi penyakit-penyakit akibat merokok.
Di sejumlah negara, baik berkembang maupun maju, usahausaha mengendalikan rokok terus dilakukan. Dari ukuran peringatan bahaya rokok sebesar 80 persen kemasan seperti di Uruguay hingga penetapan harga rokok setinggi-tingginya seperti di Australia. Uruguay adalah pelopor kontrol rokok yang ketat, termasuk mewajibkan industri rokok memasang gambar orang merokok baterai—tanda rokok mengandung logam kadmium yang beracun—di kemasannya (Associated Press, 2014).
Sejak 2012, Australia mewajibkan kemasan rokok polos tanpa logo. Apa pun merek rokoknya, hanya boleh menggunakan kemasan polos warna coklat. Harga rokoknya pun termahal di dunia, Rp 425.000 per pak. Bandingkan dengan rokok di Indonesia, hanya Rp 17.000 per pak, paling murah di dunia (Daily Mail, 10 Mei 2016).
Kemasan rokok di Indonesia bahkan masih ada yang memasang kata ”light”, ”mild”, ”pro”, dan sejenisnya, yang jelas-jelas dilarang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengumuman Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Inilah kata-kata pencitraan rasa aman yang menyesatkan.
Kenyataannya, rokok mengandung begitu banyak zat racun meski yang tertulis pada kemasan rokok Indonesia hanya kadar nikotin yang bersifat adiktif dan memicu ketergantungan dan tar yang bersifat karsinogenik memicu kanker. Sejumlah penelitian menunjukkan, rokok menjadi penyebab kematian 6.000.000 orang setiap tahun, 600.000 di antaranya perokok pasif.
Kini, setelah FCTC diadopsi Sidang Umum WHO pada Mei 2003 dan mulai berlaku sejak Februari 2005, lebih dari 180 negara sudah meratifikasi FCTC, termasuk Zimbabwe dan Malawi yang merupakan negara penghasil tembakau terbesar di Afrika. Tinggal Indonesia dan negara-negara terbelakang seperti Somalia dan Sudan Selatan yang tetap bergeming.
Tak ada jalan lain. Mari bersatu bersama #FCTCuntukIndonesia mengirim surat kepada Presiden Jokowi. Surat bisa dikirim ke PO BOX 1124 JKS 12011, form daring bit.ly/SUP3005 atau difoto dan dipindai, lalu di-e-mail ke fctcindonesia@gmail.com. Anda juga bisa mengunggah di media sosial dengan tanda pagar #FCTCuntukIndonesia dan mention fanpage FCTC untuk Indonesia. Batas waktu kirim 30 Mei 2016.
Mari ingatkan pemerintah dan selamatkan bangsa kita.
Oleh Agnes Aristiarini