MALANG
- Selepas maghrib, dua siswa kelas 3 SMP asyik cangkruk di sebuah warung kopi di Kota Malang, Sabtu (5/11/2016).
Sebatang rokok terselip di jari-jari tangan IF (16) dan juga KS (17), dua pelajar asal Singosari. IF dan KS adalah bagian dari remaja perokok yang jumlahnya semakin meningkat.

Data dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengurus Daerah (Pengda) Jatim menyebutkan, jumlah perokok anak-anak dan remaja di Jatim mencapai sekitar 2.839.115 jiwa. Jumlah ini terdiri dari perokok di bawah usia 10 tahun sekitar 11,5 persen dari total penduduk Jatim di usia itu atau sama dengan 687.755 anak.

Sedang jumlah perokok usia 10-14 tahun sekitar 23,9 persen atau 728.108 anak. Angka yang sangat fantastis terjadi pada anak-anak usia 15-19 tahun yang mencapai 46 persen atau 1.423.252 dari total penduduk Jatim di usia itu yang pada 2015 sebanyak 3.094.028 jiwa.

Kepada Surya, IF mengaku mulai merokok tahun lalu, saat kelas 2 SMP. Sedangkan KS lebih parah lagi, merokok sejak kelas 2 SD. Setiap hari, mereka menghabiskan sebungkus rokok berisi 12 batang. KS tertarik merokok karena di lingkungannya banyak orang merokok. “Saat bermain dengan teman-teman senior, saya ditawari rokok,” ujarnya.

Awalnya, KS merokok sembunyi-sembunyi. Ia sempat dimarahi orangtua. Tapi, kini orangtuanya diam saja. “Mungkin sudah capek menegur saya,” jelasnya. Merokok, kata IF, menyenangkan. Dari batuk-batuk, kini ia semakin menikmati rokok.

Tak hanya di warung kopi, ia juga merokok di sekitar sekolah, biasanya sepulang sekolah sambil masig mengenakan baju seragam. “Kalau tak merokok, tak nyaman rasanya. Bisa pusing kepala,” ujarnya. Baik KS maupun IF sebenarnya sudah tahu tentang bahaya merokok.

Mereka mengaku lebih suka bermain Play Station (PS) daripada merokok. “Saya tidak tahu bagaimana caranya berhenti,” kata KS.

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Pengurus Daerah (Pengda) Jatim menyebutkan, dari tahun ke tahun, angka perokok pemula terus naik. Data IAKMI menunjukkan, pada 2007 perokok anak pada usia kisaran 10-14 ada 0.7 persen. Sedangkan perokok pasif ada 1.3 persen. Angka itu naik pada data 2010, jumlah perokok yang berusia antara usia 15-24 tahun ada 26.6 persen.

Pada 2013, angkanya naik 0.5 persen pada perokok aktif. Sedangkan perokok pasif, naik 0.9 persen. Sekretaris IAKMI Pengda Jatim, DR Sri Widati mengatakan, secara umum, meningkatnya jumlah perokok pada usia anak-anak tidak hanya terjadi di Jatim, melainkan juga di provinsi lain. Sekitar 44 persen penduduk di Jatim, katanya, adalah perokok.

Angka itu dinilai cukup tinggi. Ini bisa dimaklumi karena Jatim adalah tempat perusahaan-perusahaan rokok nasional. “Meningkatnya jumlah perokok pemula ini yang mengkhawatirkan," tuturnya.

Ia menambahkan, "Pada remaja di usia 10-24 tahun kok pertumbuhanyya cepat? Wanita juga cepat. Bahkan, sekarang merokok dianggap gaya hidup. Jadi, mereka sudah biasa. Kalau gak merokok malah malu. Ini salah satu karakter remaja sekarang,” ucapnya.

Akademisi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga ini mengakui bahwa perokok pemula ini lebih banyak dipengaruhi teman sebaya. Menurutnya, anak muda yang tengah mencari jati diri cenderung mudah mengikuti perilaku teman-teman senior. Anak-anak belum bisa mengambil keputusan sendiri secara teguh. Merokok, keputusan itu diambil anak-anak.

Para remaja ini tidak tahu kalau nikotin dan tar menyebabkan kecanduan. Oleh sebab itu, peran keluarga dan orangtua sangat penting. Namun di satu sisi, ternyata banyak juga orangtua yang merokok, sehingga sulit mencegah anak-anaknya untuk tidak merokok.

“Hasil penelitiannya begini, faktor terbesar adalah teman-teman sebaya. Faktor kedua adalah keluarga. Jadi begini, anak-anak kita dari kecil dan lahir, terbiasa melihat keluarganya merokok. Jadi si anak ini akan tumbuh di dalam lingkungan yang menganggap merokok adalah perilaku yang wajar,” ulasnya.

Sri Widati melanjutkan, kalau dilihat dari kandungan di dalamnya, rokok bukan benda normal. Tetapi karena banyak anak-anak lahir di dalam lingkungan perokok. Maka upaya mencegah perokok pun terkendala.

IAKMI mendorong masyarakat untuk mengenal lebih dekat dampak merokok. IAKMI melakukan denormalisasi agar masyarakat menganggap merokok bukanlah hal yang normal. Secara ilmiah, efek rokok merangsang keluarnya dopamine, zat yang menyebabkan orang merasa rileks, kreatif, dan tenang.

Adanya nikotin memaksa otak untuk mengeluarkan dopamine. Padahal, secara alamiah, dopamine bisa keluar dengan sendirinya ketika seseorang tertawa. “Jadi dampaknya hampir mirip dengan narkoba. Kepada anak-anak pun reaksinya menjadi sama. Seharusnya anak-anak mengeluarkan dopamine saat bermain,” ujarnya.

Menurut Sri Widati, semakin muda orang merokok, semakin menguntungkan perusahaan rokok. Perusahaan rokok tidak perlu lagi memasang iklan karena orang sudah kecanduan rokok sejak kecil. Rokok memang bukan penyakit menular dalam kajian ilmiah. Namun, dalam kajian sosial, ia merupakan penyakit menular yang bisa diderita oleh siapapun.

Tren meningkatnya jumlah perokok di kalangan remaja juga diungkap Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Pada 2013, tren usia merokok dimulai dari usia 5-9 tahun. Pada 2007, jumlah perokok di usia 5-9 tahun hanya sekitar 0,1 persen dari jumlah penduduk di usia itu. Angka itu naik pada 2010 menjadi 1,7 persen. Sedangkan hasil riset pada 2013 menunjukkan penurun sekitar 1 persen menjadi 1,6 persen.

Jumlah perokok di usia 10 tahun sampai 14 tahun juga meningkat. Pada 2007, jumlah perokok di usia itu sekitar 9,6 persen. Pada 2010 angkanya meningkat menjadi 17,5 persen.

Pada 2013, angka perokok di usia itu naik lagi menjadi 18 persen dari total jumlah penduduk di usia itu. Peningkatan paling tinggi terjadi pada perokok di usia 15-19 tahun. Pada 2007, jumlah perokok di usia itu sekitar 30,3 persen. Pada 2010 angka itu meningkat menjadi 43,3 persen. Pada 2013, angka perokok di usia itu naik lagi menjadi 55,4 persen dari total penduduk di usia tersebut.

Sumber: Tribun News