"Industri rokok berusaha menyasar anak-anak muda untuk menjadi perokok," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Emil Salim beberapa waktu lalu.
Pernyataan Emil tampaknya memang perlu direnungkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Generasi muda yang menjadi sasaran industri rokok untuk menjadi perokok bukanlah isapan jempol, tetapi merupakan hal yang nyata.
Hal itu terlihat dalam proyeksi pertumbuhan produk rokok yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 yang sangat proindustri.
Menurut peta jalan tersebut, produksi rokok diproyeksikan 421,1 miliar batang pada 2016 dan 524,2 miliar batang pada 2020.
Dari total produksi rokok yang diproyeksikan tersebut, yang paling banyak peningkatannya adalah sigaret kretek mesin "mild" yaitu dari 121,3 miliar batang pada 2016 menjadi 306,2 miliar batang pada 2020.
Angka peningkatan jenis rokok tersebut jauh bila dibandingkan rokok jenis lainnya seperti sigaret kretek tangan (77,1 miliar menjadi 77,5 miliar), sigaret kretek mesin reguler (122,6 miliar menjadi 147,3 miliar) dan sigaret putih mesin (23,2 miliar menjadi 27,7 miliar).
Bonus Demografi Terancam
Dan harus diwaspadai bangsa Indonesia, industri rokok berusaha meraup keuntungan dengan menyasar anak-anak muda, yang menurut para pakar ekonomi, adalah bonus demografi yang menjadi harapan Indonesia pada 2025-2035.
Pengendalian Tembakau Satu-satunya cara untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia untuk tetap menjadi bonus demografi 2025-2035 adalah dengan pengendalian tembakau. Karena itulah, industri rokok selalu memusuhi segala upaya pengendalian tembakau.
Industri rokok di negara mana pun terus berupaya menghalangi upaya pembuatan regulasi pengendalian tembakau. Hal itu bisa diketahui dari risalah rapat dewan direksi Philips Morris International.
Upaya pengendalian tembakau pertama kali diawali di Jerman oleh Adolf Hitler melalui Partai Nazi. Pada saat itu, semua anggota Nazi dilarang menghisap rokok.
Seiring dengan kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, isu pengendalian tembakau ikut surut. Baru pada 1950-an muncul gerakan pendukung kesehatan masyarakat di Amerika Serikat yang berhadapan dengan industri rokok.
Saat itu, kelompok pendukung kesehatan masyarakat menginginkan ada regulasi pengendalian tembakau yang ditentang oleh Philips Morris.
Industri rokok melakukan berbagai cara untuk menghalangi proses legislasi pengendalian tembakau dengan menuntut kesamaan hak dan duduk bersama dengan pemerintah dalam membuat peraturan tentang rokok.
Industri rokok juga berusaha memengaruhi penyusunan regulasi yang menguntungkan mereka dan menentang segala upaya pemerintah dalam mengendalikan tembakau. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menyuap anggota parlemen dan mendekati pemerintah.
Salah satu contohnya adalah di Argentina pada 2005, ketika industri rokok bekerja sama dengan parlemen dan kelompok ilmuwan yang berhasil menunda undang-undang pengendalian tembakau.
Di Indonesia, sudah cukup banyak dinamika legislasi yang menunjukkan interferensi industri rokok. Yang pertama adalah upaya menghilangkan pernyataan bahwa nikotin merupakan zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan pada 1992 dan yang terbaru mereka penyusupan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di DPR.
Ancaman Keberadaaan RUU Pertembakauan dalam Prolegnas Prioritas DPR akan menjadi ancaman bagi upaya pengendalian tembakau di Indonesia yang hingga saat ini masih lemah. RUU tersebut berpotensi mematikan regulasi tentang pengendalian tembakau yang sudah ada.
Saat ini terdapat beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengendalian tembakau seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Selain itu, juga ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Panduan Peta Jalan Pengendalian Masalah Tembakau Bagi Kesehatan dan berbagai peraturan tentang kawasan tanpa rokok di tingkat provinsi maupun kabupaten-kota.
"Kementerian Keuangan juga mengatur pengendalian tembakau melalui cukai dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Keberadaan aturan-aturan tersebut akan terancam bila RUU Pertembakauan disahkan menjadi undang-undang. Pasalnya, pada naskah RUU Pertembakauan yang sedang dibahas DPR disebutkan bahwa segala aturan tentang tembakau yang sudah ada sebelumnya harus disesuaikan dalam waktu dua tahun.
Beberapa aturan yang terancam misalnya pembatasan iklan, promosi dan sponsorship rokok serta keberadaan kawasan tanpa rokok.
Karena itu, bila Presiden Joko Widodo betul-betul serius dengan Nawa Cita yang dia buat sendiri sebagai visi dan misinya dalam memimpin negeri, sudah seharusnya pemerintah menolak pembahasan RUU Pertembakauan bersama DPR.
Bila hal itu tidak dilakukan, maka Nawa Cita hanya akan menjadi cita-cita yang tidak kunjung tercapai.