Banyaknya iklan rokok yang tersebar di ruang kota dan televisi selama ini dianggap sebagai hal yang biasa saja dan tidak menjadi sebuah ancaman, padahal rokok sebagai barang yang mengandung zat adiktif tidak boleh diiklankan sesuai dengan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tetapi produsen rokok nampaknya tak habis akal, lewat pesan-pesan manupulatif, mereka berupaya mengelabui konsumennya agar menganggap rokok sebagai produk normal.

Tema petualangan, persahabatan, perlawanan, modern atau kreatifitas dipilih industri rokok untuk menggaet anak muda menjadi konsumen rokok.

Bahkan mereka tidak segan bekerja sama dengan ritel tradisional yang kebanyakan berada di dekat sekolah.

Menurut data IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) yang melakukan riset tentang kerja sama industri rokok dengan ritel tradisional di empat kota yaitu Bogor, Bekasi, Tanggerang Selatan dan Depok, sebanyak 37 persen ritel yang bermitra dengan industri rokok berada kurang dari 100 meter dari sekolah.

“Biasanya ritel tersebut akan diberi uang agar mereka mau memasang spanduk rokok, dan semakin dekat dengan sekolah maka bayarannya semakin mahal, ritel tersebut juga menjual rokok ketengan,” kata Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau IAKMI Widyastuti Sorojo.

Laporan pemantauan iklan rokok sekitar sekolah 2015 yang dilakukan Lentera Anak menyebutkan 85 persen sekolah dikelilingi iklan rokok.

“Jadi jelas bahwa target industri rokok adalah anak dan remaja,” kata Lisda Sundari dari Yayasan Lentera Anak.

Bentuk media yang paling banyak digunakan industri rokok adalah spanduk, karena lebih murah, jangkauan pemasangan lebih luas, waktunya fleksibel, penempatannya lebih dekat kepada target dan tidak dikenai pajak reklame, cukup dengan memberi sejumlah uang kepada pemilik tempat.

Sebanyak 74,6 persen tema iklan rokok langsung menampilkan merek mereka, sementara 11,1 persen bertema petualangan, 8,5 persen bertema seni atau musik, tiga persen bertema motivasi dan dua persen bertema persahabatan atau kesetiakawanan.

Menurut Lisda, banyaknya iklan yang langsung menampilkan merek rokok menunjukkaan strategi hard selling yang dilakukan oleh produsen rokok.

“Jika dahulu mereka malu-malu bermain pada pesan subliminal, sekarang mereka langsung menampilkan merek rokok untuk mempengaruhi targetnya untuk segera mengambil keputusan membeli rokok,” kata Lisda.

Spanduk-spanduk itu pun menampilkan harga dan jumlah rokok per batang.

“Hal itu agar anak-anak merasa mampu membeli rokok dengan uang jajan mereka,” kata Lisda.

Lentera Anak bekerja sama dengan dinas pendidikan di lima kota, yaitu Padang, Mataram, Bekasi, Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor membuat Kampanye ‘Tolak Jadi Target’ untuk melindungi dan memperkuat anak-anak agar mampu menolak menjadi target industri rokok yang dengan sengaja menempatkan iklan rokok di sekitar sekolah.

Mereka pun melakukan aksi penurunan spanduk reklame rokok di sekitar sekolah.

Selain menurunkan spanduk reklame rokok, para siswa juga menyosialisasikan penolakan mereka menjadi sasaran industri rokok sebagai perokok pengganti dan menggalang dukungan dari masyarakat sekitar sekolah.

Pelarangan total iklan rokok Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan persentase perokok usia 10-14 tahun di Tanah Air semakin lama semakin meningkat.

Jika pada 1995, sembilan persen remaja berusia 10-14 tahun mulai merokok, pada 2013 sebanyak 17,3 persen remaja usia 10-14 tahun mulai merokok.

“Salah satu pemicu naiknya angka remaja yang mulai merokok adalah banyaknya iklan rokok di mana-mana,” kata Abdillah.

Nina Armando dari Koalisi Nasional Reformasi Penyairan mengatakan perusahaan rokok menargetkan rokok kepada kaum muda dalam rangka untuk menggantikan perokok yang meninggal dengan pelanggan baru.

Untuk itu, iklan rokok ditujukan untuk mencari perokok baru terutama anak dan remaja.

Dia telah melakukan studi terhadap iklan rokok di 11 stasiun tv yang bersiaran nasional pada minggu pertama selama empat bulan awal pada 2012.

Beberapa hasilnya antara lain iklan rokok banyak muncil di acara klasifikasi R-BO (Remaja – Bimbingan Orangtua).

Tema iklan rokok umumnya adalah tema yang tepat bagi kaum muda dan disukai kaum muda misalnya petualangan, gaya hidup elite, keberanian, menyemarakkan suasana, pertemanan, kelucuan dari kejadian sehari-hari, pantang mundur, tidak berpura-pura.

“Iklan itu segera muncul pada pukul 21.30 WIB, dan iklan akan terus diulang-ulang dengan versi iklan yang sangat beragam,” kata Nina.

Versi yang beragam itu dimaksudkan agar remaja tidak bosan menerima pesan dari iklan.

Menurut Nina, iklan, promosi dan sponsor rokok harusnya dilarang total untuk menyelamatkan masa depan anak bangsa.

Isu tentang iklan rokok menjadi salah satu hal krusial dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurut naskah RUU yang disusun Komisi I DPR, iklan rokok akan dilarang sama sekali di media penyiaran.

Namun sayangnya rancangan atau draf mengenai iklan rokok tersebut diubah oleh Badan Legislasi (Baleg) dari pelarangan total iklan rokok mnejadi pembatasan iklan rokok.

Tokoh Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulioanto mengatakan perubahan tersebut merupakan langkah mundur tanggung jawab negara dalam melindungi anak dan perempuan yang terpapar oleh iklan rokok.

Padalah pelarangan total iklan rokok dalam penyiaran merupakan pintu dalam menekan angka prevalensi perokok.

“Peningkatan jumlah merokok anak akan menjadi bencana demografi. Iklan rokok merupakan informasi paling hoax, karena ikan rokok seakan mengaburkan fakta rokok yang justru membawa bencana bagi ekbnomi dan kesehatan,” kata dia.

Pihaknya mendorong Komisi I DPR untuk tetap menolak perubahan Draf RUU Penyiaran yang dilakukan Baleg.

Sumber: Malang Today