JAKARTA - Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) mengaku tidak puas dengan keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) hanya 10,54 persen secara rata-rata pada tahun depan.
Menurut Peneliti Pusat PKEKK FKMUI Rahma Indira, seharusnya, pemerintah memasang tarif kenaikan CHT yang lebih tinggi, bahkan membuat harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus. Dengan demikian, rokok tidak dapat diperoleh dengan mudah.
"Butuh kenaikan yang lebih signifikan. Lagipula, dari beberapa survei, mayoritas masyarakat mendukung kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus," ungkapnya kepada CNNIndonesia[dot]com, Selasa (4/10).
Dengan adanya dukungan masyarakat, ia mengungkapkan, sebetulnya, pemerintah lebih berani untuk mengerek harga rokok melalui kenaikan tarif CHT. Upaya ini diklaim demi melindungi generasi muda dan rakyat miskin.
Sekadar informasi, kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 10,54 persen membuat harga jual rokok hanya naik sekitar Rp500 per bungkus. Hal ini membuat rokok masih sangat terjangkau bagi perokok pemula, terutama bagi perokok aktif yang ketergantungannya kelewat tinggi.
"Seharusnya, cukai ditingkatkan melebihi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan angka produksi industri rokok. Karena, filosofi cukai adalah alat pengendali konsumsi rokok," terang Rahma.
Tidak cuma kenaikan tarif rata-rata CHT yang rendah, ia juga mengkritisi, kenaikan tarif CHT per golongan rokok yang tidak signifikan. Ambil contoh Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Ini membuat perokok masih memiliki pilihan rokok. Jadi, mereka masih bisa berpindah ke rokok yang lebih rendah kenaikan harganya. Masyarakat miskin akan mengalokasikan uangnya untuk beli rokok ketimbang beli makanan bergizi, membayar pendidikan, dan kesehatan keluarganya, serta membayar pengobatan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok," imbuh Rahma.
Potensi Penerimaan Negara Ciut
Implikasi dari kenaikan tarif CHT, sebetulnya, bisa membawa pengaruh positif bagi penerimaan negara lewat cukai rokok. Sayang, lanjut Rahma, kenaikannya kelewat rendah dan bervariatif.
Kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 10,54 persen. Kenaikan tarif tertinggi berlaku untuk golongan SPM dengan rata-rata kenaikan sekitar 13,46 persen. Sementara itu, golongan SKT menikmati tarif nol persen atau tidak mengalami kenaikan.
"Seharusnya, kenaikan cukai bisa berimplikasi pada adanya tambahan penerimaan cukai rokok sebagai penerimaan negara," kata Rahma.
Toh, tambahan penerimaan dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) dapat dimanfaatkan untuk program diversifikasi keahlian buruh industri hasil tembakau, membuka lapangan kerja baru, diversifikasi produk tembakau, dan produk pertanian, serta pemutakhiran sistem untuk mengatasi peredaran rokok ilegal.
Sumber: CNN Indonesia