Jakarta - Indonesia dianggap lemah menghadapi intervensi industri rokok. “Ada tujuh kategori yang menunjukkan Indonesia tak berdaya ketika berhadapan dengan industri rokok,” kata Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo di Jakarta, Senin, 28 Agustus 2017.
Tujuh kategori itu adalah adalah tingkat partisipasi dalam penyusunan kebijakan; kegiatan yang diklaim sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR); pemberian manfaat bagi industri rokok; bentuk-bentuk interaksi yang tidak perlu; transparansi; konflik kepentingan; dan tindakan pencegahan.
Widyastuti mencotohkan, pada kategori tingkat partisipasi dalam penyusunan kebijakan misalnya, pemerintah justru menyusun peraturan yang disusun oleh industri rokok. Hal ini terlihat saat DPR ngotot mengegolkan RUU Pertembakauan. “Industri rokok berulang kali mendesak DPR segera mengesahkan RUU itu,” kata dia.
Pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mendukung pernyataan Widyastuti. “Pengaturan zat adiktif antara rokok dan alkohol amat timpang. Padahal, keduanya sama-sama zat adiktif,” ujarnya.
Julius menunjukkan, perlakuan yang berbeda saat membuat RUU Larangan Beralkohol dan RUU Penyiaran yang membolehkan iklan rokok. Ia mengatakan, dalam proses penyusunan rancangan undang-undang harus selalu menyelaraskan dengan Pembukaan UUD 1945. Pada RUU Larangan Beralkohol, rujukan terhadap Pembukaan UUD 1945 ini dipakai untuk menekan peredaran minuman beralkohol. Ironisnya, saat penyusunan RUU Penyiaran yang membolehkan iklan rokok, DPR tidak merujuk pada Pembukaan UUD 1945.
“Bisa dibilang RUU Penyiaran dan juga RUU Pertembakauan, bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang melindungi segenap bangsa Indonesia,” ucapnya.
Dalam kategori kegiatan yang diklaim sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pemerintah kerap menerima bantuan dari industri rokok. Salah satu contohnya, penanaman 12an ribu pohon trembesi di ruas tol Cipali. Penyokong kegiatan itu adalah pabrikan rokok besar di Indonesia. Bahkan, pada Maret 2016, kegiatan rangkaian penanaman itu dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Aksi itu diklaim sebagai kegiatan CSR raksasa pabrikan rokok tersebut.
Aktivis Lingkar Studi CSR, Jalal mengatakan, pemerintah kerap kali keliru memahami definisi CSR. Menurut Jalal, tujuan CSR tidak pernah berubah dari tahun 1953, yang mendukung pembangunan berkelanjutan. “Apakah kegiatan itu menjauhkan atau mendekatkan Sustainable Development Goals (SDGs),” ujarnya. “Pada dasarnya tidak ada CSR dari perusahaan rokok karena dampak produksi industri rokok itu mengancam kesehatan masyarakat.”
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan menunjukkan intervensi industri rokok dalam penyusunan UU Cukai Nomor39 Tahun 2007. “Untuk kasus kebijakan cukai, pemerintah diwajibkan menyerap aspirasi industri dan tidak ada kewajiban memperhatikan kesehatan masyarakat,” kata dia.
Menurut Abdillah, praktik seperti ini terlihat setiap tahun. “Setiap hendak menaikkan tarif cukai, pemerintah pasti mendengarkan aspirasi industri rokok dan mereka selalu diundang untuk rapat.” Ironisnya, kata Abdillah, beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan jarang melibatkan komunitas kesehatan untuk menetapkan tarif cukai.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi menyatakan, meskipun sudah banyak contoh yang menunjukkan pemerintah lemah menghadapi industri rokok, mereka tak pernah menganggapnya sebagai intervensi. “Mungkin cuma Kementerian Kesehatan yang menganggap industri rokok telah melakukan intervensi,” ujarnya.
Indonesia, kata Tulus, komoditas rokok dianggap normal meski di baliknya ada bencana. “Di situ ada instrumen pembunuhan kepada rakyatnya tapi sayangnya pemerintah malah berterima kasih kepada industri rokok.”
Sumber: Tempo.co