Jakarta
- Indonesia belum bisa memerdekakan diri dari persekongkolan jahat industri rokok dengan para pengambil keputusan negeri ini. Widyastuti Soerojo, Ketua Badan Khusus Pengendalian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menjelaskan, selama dua tahun berturut pada 2014 dan 2015, indeks campur tangan industri produk tembakau di tujuh negara ASEAN, Indonesia menempati posisi tertinggi.

“Pada 2014, indeksnya 78 dan meningkat menjadi 82 pada 2015,” kata dia dalam refleksi Kemerdekaan Indonesia dari Campur Tangan Industri Rokok di Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016. “Kita ini paling memble dibandingkan Brunei, Thailand, Laos, Kamboja, Filipina, dan Malaysia,” katanya.

Ia menjelaskan, kategori campur tangan industri produk tembakau ini mencakup tujuh hal. Di antaranya, tingkat partisipasi dalam penyusunan kebijakan; kegiatan yang diklaim sebagai corporate social responsibility (CSR), manfaat bagi industri produk tembakau; serta bentuk-bentuk interaksi yang tidak perlu, transparansi, konflik kepentingan, dan tindakan pencegahan.

Menurut Widyastuti, indeks campur tangan industri produk tembakau ini dibuat dengan melibatkan tiga lembaga, yakni IAKMI, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), dan perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pelaksanaan observasi indeks ini dilakukan pada Januari-Desember 2015.

Dari indeks ini, kata Widyastuti, terlihat campur tangan industri produk tembakau. “Ribuan zat toksik dan adiktif dijual dan mereka sangat agresif memaksimalkan keuntungan,” kata dia. Selain itu, ia melanjutkan, industri menggunakan pengaruh politik dan kekuatan ekonomi untuk mengganjal kebijakan dan menerapkan strategi pelemahan kebijakan yang sangat rinci, dengan dana sangat besar, dan canggih.

“Ini bisa dibilang, ini adalah penjajahan gaya baru yang bukan dengan menggunakan senjata fisik tapi menjual budaya/norma sosial, kenikmatan adiksi, dan keuntungan pasar,” ucapnya.

Widyastuti menuturkan, penjajahan gaya baru ini terlihat dari empat industri produk tembakau menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar. Phillip Morris Indonesia menguasai 33 persen, Gudang Garam 28 persen, Djarum 12 persen, dan Bentoel 8 persen. Sisanya adalah Nojorono hanya menguasai 6 persen, dan lainnya 13 persen.

Yang lebih buruk dari itu, kata Widyastuti, pemerintah membenarkan persekongkolan ini. Mereka mengizinkan industri rokok meraup keuntungan besar dan merusak kesehatan masyarakat. Indikasi ini, kata dia, bisa terlihat dari kunjungan kerja Menteri Perindustrian saat itu, Saleh Husein, ke perusahaan industri rokok hanya beberapa bulan setelah dilantik. Puncaknya adalah terbitnya Peraturan Menteri tentang Peta Jalan Industri Tembakau pada 2015 yang isinya meningkatkan produksi batang rokok.

ISTIQOMATUL HAYATI

Sumber