JAKARTA--Hari Tanpa Tembakau Sedunia jatuh pada Ahad (31/5). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tjandra Yoga Aditama menuturkan, konsen kampanye antirokok nasional kini lebih diarahkan kepada kaum remaja.
Tjandra mengungkapkan, pihaknya telah menyelesaikan analisis Global Youth Tobacco Survey (GYTS) untuk tahun lalu. GYTS merupakan data termutakhir mengenai kebiasaan merokok yang dilakukan oleh kaum remaja di tiap negara, termasuk Indonesia. "Ini bagian dari penelitian internasional yang juga dilakukan di 47 negara dengan metode yang sama," ujar Tjandra Yoga Aditama dalam pesan singkat yang diterima Republika, Ahad (31/5). GYTS dilakukan terhadap pelajar tingkat SMP dengan rentang usia 13-15 tahun. Menurut Tjandra, survei ini mengungkapkan fakta bahwa sebanyak 18,3 persen pelajar Indonesia sudah terbiasa merokok. Dari jumlah tersebut, remaja laki-laki mendominasi. Total anak muda yang disurvei, yakni 5.981 orang yang mencakup 72 sekolah dengan sampel 212 kelas. Tjandra lantas membandingkan temuan pada anak-anak SMP ini dengan data perokok usia 15 tahun ke atas. "Artinya, dengan bertambahnya umur, persentase perokoknya terus meningkat," kata dia. Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung upaya promotif dan preventif dalam pembangunan kesehatan, termasuk soal pengendalian tembakau. "Salah satunya adalah dengan menetapkan Kawasan Tanpa Rokok atau KTR," kata Nila F Moeloek di Jakarta, pekan lalu. Dia menjelaskan, KTR diberlakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Selain itu, dengan adanya iklan layanan masyarakat (ILM) melalui media cetak dan elektronik, diharapkan mampu membudayakan kebiasaan hidup tanpa rokok. Sementara, berbagai aksi memperingati Hari Antirokok Sedunia digelar di Jakarta. Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Gerakan Muda FCTC menggelar aksi mengingatkan pemerintah untuk segera menandatangani ratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). FCTC merupakan dokumen perjanjian yang diwadahi konvensi Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengendalikan zat adiktif, terutama rokok. Salah satu poin penting dari FCTC adalah setiap negara anggota WHO diminta serius memberlakukan kebijakan pengurangan permintaan terhadap produk tembakau. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut mengusulkan draf FCTC. Namun, penandatanganannya mandek pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru Bicara Gerakan Muda FCTC Margianta menjelaskan, kesadaran kritis anak muda harus dibangkitkan agar mewaspadai strategi industri rokok. "Tujuan kita untuk mendorong anak-anak muda, khususnya mereka yang aktif di media sosial, untuk bersuara dan menolak menjadi target industri rokok," ujar Margianta, Ahad (31/5), dalam acara diskusi FCTC Speak Up di Kalibata, Jakarta. Margianta melanjutkan, anak-anak muda ditargetkan oleh industri rokok agar menjadi perokok pemula, menggantikan perokok senior yang sakit atau sudah meninggal. Strategi tersebut, ujarnya, sangat mengkhawatirkan karena bonus demografi yang diperoleh Indonesia bisa hilang. Hingga kini, sudah 187 negara yang telah meratifikasi dokumen dunia itu. Dengan menandatangani FCTC, dia menjelaskan, Indonesia akan lebih berdaya untuk membuat aturan yang lebih ketat terhadap industri rokok sekaligus melindungi warganya. Misalnya, terkait menaikkan cukai rokok, memperketat batas usia pembeli rokok, dan atau memperbesar peringatan bahaya kesehatan pada bungkus rokok. Aksi Speak Up ini dihadiri puluhan anak muda dari berbagai daerah, antara lain, Jabodetabek, Padang, Mataram, Banten, Bangka, dan Manokwari. Mereka pun mengajak publik untuk mendukung Presiden Joko Widodo segera meratifikasi FCTC. "Target kami, mendapatkan dukungan dari 10 ribu penandatanganan petisi. Nantinya, akan kami bawa ke Presiden." Di laman resminya, WHO merilis bahwa satu dari setiap 10 rokok dan banyak produk turunan tembakau lainnya diproduksi dan diperdagangkan secara ilegal. Perdagangan ilegal mencakup pabrik ilegal, pemalsuan komponen produksi tembakau, hingga penyelundupan. Dengan adanya ratifikasi, perdagangan ilegal tembakau bisa dibasmi. WHO menulis proses ratifikasi protokol untuk menyapu bersih perdagangan ilegal produk tembakau telah diganggu oleh industri tembakau. Tak hanya itu, industri juga telah mendukung perdagangan ilegal untuk menguji produk baru. antara/c14 ed: A Syalaby Ichsan ***