Ketika melihat orangtuanya merokok untuk pertama kalinya, anak sudah mulai bertanya-tanya, ”Apakah itu rokok?”
Pertanyaan berikutnya bisa jadi muncul di benaknya, ”Seperti apa ya rasanya rokok? Apa yang didapatkan setelah merokok?” Setelah anak membayangkan itu, ia bisa saja mencobanya, lalu menularkan ke teman-teman sepergaulannya. Tidak mengherankan bila perokok pemula semakin hari dari usia yang semakin rendah.
Apa yang dilihat anak dari perilaku orangtua perokok, ditambah dengan daya pikat lain. Ada tampilan rokok dalam iklan di papan billboard, juga etalase di warung sampai supermarket. Belum lagi pemandangan yang dia lihat di area publik ketika banyak orang dewasa merokok dengan bebas.
Anak-anak memang memiliki sikap yang khas dalam pertumbuhannya, yaitu mencontoh. Akan tetapi, hal lain yang perlu diingat, semakin panjang masa seseorang menjadi perokok aktif, semakin besar pula risiko yang harus ia tanggung.
Data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014 yang disebutkan di salah satu artikel di situs Kementerian Kesehatan menyebutkan, ada 18,3% pelajar Indonesia yang sudah punya kebiasaan merokok. Di antara jumlah itu, 11,7% perokok pelajar laki-laki dan 9,5% pelajar perempuan sudah mulai merokok sejak sebelum usia 7 tahun.
”Bahaya merokok itu merupakan akumulasi dari lamanya merokok dan banyaknya rokok yang dihisap per hari. Jadi, semakin muda dia merokok maka akan semakin lama durasi merokoknya, sehingga bahaya menjadi meningkat,” tutur J Teguh Widjaja, dokter spesialis paru di Klinik Paru/Asma RS Immanuel (Immanuel Respiratory Center).
Bahaya apa? Tentunya banyak karena asap rokok yang mengandung sekitar 4.000 bahan kimia telah terbukti berhubungan dengan setidaknya 25 macam penyakit di dalam tubuh manusia.
Sebatang rokok setidaknya mengandung formalin yang biasa menjadi bahan pengawet, geranol yang dipakai sebagai bahan pestisida, toluene yang juga terdapat dalam bensin, cinnamalde hyde yang merupakan kandungan di racun anjing dan kucing, serta hidrogen sianida yang biasa digunakan sebagai racun pembunuh tikus.
Teguh pernah melakukan penelitian tentang perokok pemula. Ia menemukan bahwa pengaruh utama yang menyebabkan anak-anak merokok utamanya dari keluarga. Lalu, faktor berikutnya adalah dari teman dan iklan.
Oleh karena itulah, ketika ingin menghentikan anak kecil terpapar rokok, keluarga harus pertama kali memberikan contoh. Artinya, sebelum melarang anak merokok, orangtua harus lebih dulu berhenti merokok.
”Selanjutnya, edukasi anak-anak supaya tidak ikut-ikutan teman-temannya. Tentunya, pemerintah yang berwenang harus melarang iklan-iklan rokok yang bisa dilihat anak-anak,” kata Teguh.
Berry Prawira adalah salah seorang perokok yang mencoba rokok karena faktor orangtua. Merokok pun kemudian menjadi kebiasaan karena diperkuat oleh gaya pergaulan dengan teman-temannya.
”Pertama mencoba merokok kelas VI SD, nyolong rokok Bapak, untuk mencoba saja, hehe.... Tetapi, mulai sering merokok ketika kelas II SMP. Dulu biasanya pulang sekolah langsung nongkrong di kios bareng geng. Merokok karena pergaulan saja, supaya diterima dan diakui dalam geng. Setelah itu, keterusan deh,” ucapnya.
Begitu pula dengan Dedy Kurdian yang mulai kebiasaan merokok sejak belia, yaitu ketika masih duduk di kelas 1 SMP. Ketika sudah duduk di kelas III SMP, ia sudah menjadi pecandu rokok.
Orangtua Dedy adalah perokok sehingga dia sudah terbiasa melihat rokok. Selain itu, teman-temannya di sekolah dan di lingkungan rumah pun memperlihatkan hal yang sama.
”Dulu awalnya ya supaya bergaul aja bersama teman. Kalau merokok di rumah mah tetap dimarahin. Baru boleh bebas merokok di rumah setelah kerja, hehe...,” katanya.
Sekarang setelah memiliki anak, Dedy juga mengaku bahwa ia melarang anak-anaknya untuk merokok. Dia beralasan, selama ini di rumah pun ia merokok hanya sedikit, yaitu setelah makan. Ia pun merokok di luar rumahnya.
Dampak negatif
Menurut psikolog Aylina G Hardiman, bagi anak remaja, faktor lingkungan memang sangat berperan penting, Apalagi penerimaan dari lingkungan pergaulan sering kali menuntut seorang anak mencoba rokok lebih dulu. Seorang anak baru diakui memiliki keberanian bila berani melawan aturan, salah satunya merokok.
”Remaja ada kecenderungan ingin bersikap melawan atau membantah, sehingga ia melakukan apa yang dilarang untuk menunjukkan eksistensi dirinya, dengan mencoba-coba merokok,” tuturnya.
Menurut dia, anak mempelajari banyak hal dari mencontoh. Ia akan melihat apa yang dikerjakan oleh orangtua atau orang dewasa di sekelilingnya. Misalnya, ada anak-anak yang suka membeli permen berbentuk rokok dan mengikuti gaya orangtua merokok.
Oleh karena itulah, dari berbagai hasil penelitian didapati lebih banyak anak yang merokok berasal dari orangtua yang perokok juga.
Namun, bukan hal yang mustahil dari orangtua yang perokok akan didapati anak yang tidak mengikuti jejak orangtuanya. Hal itu bisa terjadi biasanya karena adanya pemahaman akan efek negatif atau bahaya dari merokok yang lebih kuat dari mitos-mitos positif dari merokok.
”Pemahaman tersebut akan semakin menguat dengan bukti nyata yang dilihat oleh anak akan akibat buruk dari merokok. Ketika seorang anak ’membenci’ perilaku merokok dari orangtuanya, maka ia tidak akan menirunya,” kata Aylina.
Nah, permasalahannya, apakah anak-anak dari orangtua yang perokok mendapatkan informasi yang cukup tentang dampak negatif dari rokok yang tentu jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan ilusi kesenangan merokok?
Apalagi, billboard rokok ditampilkan dengan gambar yang keren, kata-kata yang sangat mewakili anak muda, ditambah sering menjadi sponsor acara musik atau olah raga yang digandrungi anak muda.
Kalau anak-anak yang hidup sekarang ini tidak mendapatkan informasi yang utuh mengenai efek negatif rokok, dan bahkan melihat banyak perokok dan iklan rokok yang keren, hampir dipastikan mereka akan sukses menjadi perokok pemula.
Saat mereka menjadi orangtua dengan anak-anak di sekelilingnya yang juga melihat hal yang dilihatnya ketika kecil dahulu, generasi baru perokok pun lahir.
Memang dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih komprehensif untuk menghadapi persoalan ini. Akan tetapi, satu contoh ini mungkin bisa menjadi pertimbangan pribadi. Ketika seorang perokok menderita sakit keras, lalu anak-anaknya yang masih kecil menyaksikan detik-detik kematian orangtuanya.
Masih tegakah? Jangan tunggu sampai sakit keras untuk berhenti merokok supaya bisa menjadi contoh baik bagi anak-anak. Berhentilah merokok sekarang juga.
Sumber: Pikiran-rakyat.com