Pantauan Ha­luan pada Kamis (7/1) di beberapa ruas jalan, ter­lihat pamflet, banner, papan reklame, vi­deo­tron dan beberapa me­dia lain yang menampilkan iklan rokok, tersebar di mana-mana. Bahkan bebe­rapa di antaranya menggu­nakan kalimat-kalimat yang seolah memancing remaja untuk mencari jati dirinya melalui rokok.

Berdasarkan penelitian Ruang Anak Dunia (Ruan­du) Foundation pada 2015 lalu pada 56 sekolah di Kota Padang, ditemukan 70% di antaranya telah dikepung iklan rokok. Dan berda­sarkan hasil survey terakhir Dinas Kesehatan Kota (DKK) Padang, didapati lebih dari sepa­ruh (66,2%) warga Kota Padang adalah perokok dan sepertiga di antaranya berusia di bawah 20 tahun. Atas beberapa fakta terse­but, pengamat pendidikan me­mastikan bahwa pengawasan terha­dap anak agar tidak terjebak pada kebiasaan merokok patut dikaji ulang.

“Mereka itu (perusahaan ro­kok, red) sangat pandai menge­mas iklan, menggunakan bahasa per­suasif yang membujuk siswa untuk membeli rokok,” ucap Ketua Pengurus LSM Ruandu Founda­tion Muharman kepada Haluan.

Sebagaimana terlihat di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kawasan Lapai. Tepat di samping sekolah tersebut terdapat warung milik warga, dengan hiasan iklan rokok di bawah atapnya. Pada iklan terse­but tertera kalimat penuh moti­vasi dan dilengkapi harga rokok per bungkusnya. Ketika beberapa siswa yang tengah merokok di lokasi tersebut ditanyai dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli rokok, serempak mereka menjawab dari menyi­sihkan uang jajan harian. Menurut mereka, harga rokok per batang masih terjangkau untuk dibeli.

“Merokok untuk pergaulan saja, pak. Sebatang cuma Rp1. 500. Jajan saya sehari Rp10 ribu. Lagian saya hanya sebatang-dua batang, pak,” kata Ben (bukan nama sebenarnya), salah seorang siswa kepada Haluan.

Tidak hanya di tepi jalan dan di lingkungan sekolah, iklan rokok bahkan terpampang jelas di pertigaan setelah gerbang masuk GOR Haji Agus Salim Padang, yang sejatinya adalah pusat sarana kegiatan olahraga terbaik yang dimiliki Sumbar. Bahkan beberapa waktu lalu, Haluan mendapati pedagang rokok asongan tengah berjualan secara sembunyi-sembunyi di lingkungan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) DR. M Djamil Padang.

Pengamat pendidikan asal Universitas Negeri Padang (UNP) Syahril kepada Haluan mengatakan, pengawasan ter­hadap siswa agar terjauh dari rokok memang masih jauh pang­gang dari api. Menurutnya, selain gencarnya iklan, status orang yang seharusnya mengawasi, tapi tekadang juga perokok aktif, tidak bisa dipungkiri menjadi penyebab segala aturan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Saat ini tidak sulit untuk menemukan para siswa, terutama di tingkat SMP dan SMA yang menjadi perokok aktif. Biasanya, rokok mereka dapatkan di kan­tin-kantin di sekitar sekolah. Jadi, jangankan iklan rokok, rokok pun sudah sangat dekat dengan bangunan sekolah. Lantas kalau sudah seperti ini, memang cukup sulit mengendalikan munculnya perokok-perokok baru, ditambah lagi pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan aturan,” katanya, Kamis (7/1).

Ditambahkan Syahril, selain tersedianya iklan yang menggoda dan tersedianya rokok di dekat sekolah, keadaan semakin diper­parah dengan status perokok yang disandang oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pengawas para siswa agar tidak merokok. Mulai dari kepala sekolah, guru, satpam dan lain sebagainya. Tiba di rumah, tak jarang orangtua siswa juga berstatus sebagai seorang perokok. Sehingga me­mang siswa benar-benar telah dikepung oleh rokok.

“Rokok berbeda dengan nar­koba. Sulit kita temukan guru yang menjadi pecandu, makanya tidak banyak pula siswa yang pecandu. Tapi kalau guru yang perokok dan orangtua yang pero­kok, itu ada di mana-mana, se­hing­ga tentu saja tingkat kemung­kinan siswa menjadi perokok sangat besar,” jelasnya lagi.

Syahril berharap, pemerintah melalui instansi terkait benar-benar serius dalam menegakkan aturan kawasan tanpa rokok (KTR) di lingkungan sekolah. Karena menurutnya selama ini yang menjadi target aturan hanya­lah siswa, sementara guru dan pemilik warung yang menyedia­kan rokok secara diam-diam sangat jauh dari target aturan.

Hal senada diungkapkan oleh pengamat lain asal Universitas Andalas (Unand)  Musliar Ka­sim. Mantan Wakil Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan tersebut mengatakan, selama ini rokok memang jadi dilema bagi peme­rin­tah. Membiarkan perkemba­ngannya akan merugikan dan mengancam kualitas hidup gene­rasi penerus bangsa. Namun, pelarangannya juga sama halnya dengan menolak pajak yang bisa diperoleh dari penjualannya.

“Pengendalian iklan rokok memang jadi hal yang mutlak dilakukan karena sudah mera­jalela. Ambil contoh pada peme­rintah kota Padang, seharusnya dapat lebih bijak dalam mengatur periklanan rokok.

Memang tidak dapat disank­sikan rokok meng­hasilkan pajak bagi pembangu­nan. Padang beda dengan Padang Panjang yang bukan kota persing­gahan, sehing­ga peraturan seba­gai kawasan tanpa iklan rokok bisa ditegak­kan. Sedangkan Pa­dang, kota ini selain bergantung pada pajak, juga bergantung pada wisatawan dari luar negeri yang akrab dengan rokok,” jelasnya.

Melihat kenyataan itu, Mus­liar menilai bahwa pengendalian iklan memang menjadi satu-satunya cara untuk memperkecil peluang bertambahnya jumlah perokok remaja. Selain itu, pe­nga­wasan dari guru dan orangtua memang tak bisa dinafikan, malah harus lebih ditingkatkan.

Di sisi lain, Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Masalah Kesehatan DKK Padang, Feri Mulyani mengatakan, berda­sar­kan survey terakhir yang dilaku­kan, dari 876.880 jiwa penduduk Kota Padang, 323.963 di antaran­nya berada pada usia di bawah 20 tahun. Dan lebih dari separuh warga Padang, yaitu sebanyak 66,2% adalah perokok. ***

Sumber