JAKARTA –
Rencana kenaikan harga rokok menuai pro dan kontra. Demi alasan kesehatan dan menyelamatkan generasi muda, dukungan menaikkan harga rokok mengalir.

Namun, tidak jarang pula nasib petani tembakau dan para buruh pabrik rokok dijadikan alasan jika harga rokok naik. Banyak pihak yang menyebutkan jika harga rokok naik maka petani tembakau akan gulung tikar dan buruh pabrik rokok kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) mencoba mengupas terkait pengaruh rokok secara sudut ekonomi. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D, menjelaskan jika pihaknya mengkaji dari sisi dampak rokok bagi kesehatan. Sementara Fakultas Ekonomi dan Bisnis mencoba mengkaji dari sudut ekonomi. Bagaimana dan berapa besaran sumbangsih rokok terhadap kontribusi pemasukkan negara.

“Ada lembaga demografi melakukan kajian dari sudut ekonominya. Betulkah, seberapa besar sih rokok berkontribusi pada pemasukan negara. Dibandingkan dengan berapa besar pengeluaran negara untuk menanggulangi masalah ini,” katanya di Kampus UI Depok.

Pengeluaran negara dalam menanggung biaya kesehatan yang diakibatkan oleh rokok jauh lebih besar ketimbang penerimaan. Kontribusi rokok secara keseluruhan juga tidak terlampau besar terhadap penerimaan negara.

“Datanya sudah terlihat, bahwa pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Lalu di lembaga demografi UI juga melihat kontribusi rokok ternyata tidak besar apalagi dilihat siapa pemiliknya,” tegas Agustin.

Selama ini, sejumlah pihak selalu menonjolkan kepentingan petani tembakau. Padahal tembakau yang digunakan sebagai bahan baku rokok adalah impor.

“Coba silahkan lihat pabrik rokok yang besar-besar itu tembakaunya darimana? Impor. Bukan hasil dalam negeri juga. Jadi sebetulnya siapa yang dirugikan. Kan kajiannya makro dong, persen sih sumbangan terhadap perekonomian nasional. Kontribusi industri rokok terhadap negara tak besar juga,” ungkapnya.

Sumber