JAKARTA
- Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, menilai, tujuan cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi belum tercapai,karena produksinya terus naik. Kementerian Perindustrian bahkan menargetkan produksi rokok naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun ke depan, yaitu mencapai 524,2 miliar batang pada 2020, naik dari 344 miliar batang pada 2014. Tentu saja sasarannya adalah perokok pemula, yaitu anak dan remaja sebagai perokok jangka panjang.

Selain itu, harga rokok di dalam negeri terlalu murah, yaitu hanya sekitar Rp 15.000 atau sekitar US$ 1,4 per bungkus. Sebagai perbandingan, untuk rokok yang sama di Singapura harganya mencapai Rp 100.000, atau US$ 9,6 per bungkus, di Brunei Darussalam US$ 6,47 per bungkus, dan di Malaysia US$ 3,7 per bungkus.

Dengan kisaran harga yang tergolong murah, ditambah tarif cukai maksimal 57% sesuai UU 39/2007 tentang cukai, membuat upaya pemerintah belum efektif menekan konsumsi. “Harga rokok yang murah ini membuat semua kalangan mudah membelinya, termasuk anak-anak dan penduduk miskin. Fakta ini tentu saja membawa dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, dan berujung pada kematian,” ujarnya belum lama ini.

Murahnya rokok membuat konsumsi meningkat terus. Indonesia merupakan negara dengan persentase perokok tertinggi di dunia. Sementara itu, negara-negara yang lebih maju dari Indonesia mengendalikan konsumsi rokok dengan menaikkan cukai dan pajak rokok.

Studi yang dilakukan PKEKK Fakultas Kesehatan Masyarakat UI menunjukkan, 62% responden perokok menyatakan mengurangi rokok ketika harga rokok mencapai Rp 35.000 per bungkus, dan 71% responden menyatakan berhenti merokok pada harga Rp 50.000 per bungkus.

Hasil survei ini juga menunjukkan, 34% responden yang menyatakan bahwa harga rokok sekarang mahal, tetapi 43% responden yang merokok menghabiskan 1-2 bungkus per hari. Dengan harga rokok yang rata-rata sekitar Rp 15.000 per bungkus, mereka menghabiskan Rp 450.000 – Rp 900.000 per bulan untuk rokok. Padahal, iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kelas I hanya Rp 80.000 per orang per bulan.

Jika harga rokok dinaikkan menjadi 30%, harga rokok menjadi Rp20.000 per bungkus. Dengan tarif cukai sebesar itu, potensi penerimaan cukai rokok pada 2017 mencapai Rp 210 triliun, bahkan bisa ditingkatkan mencapai Rp 300 triliun jika cukai rokok dinaikkan. Dana ini bisa untuk mendanai iuran kelompok penerima bantuan iuran (PBI), bahkan seluruh peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 3 dan keluarganya dalam program JKN.

Pandangan senada disampaikan peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan. Dia menjelaskan, jika 50% dana cukai rokok diambil untuk program JKN, tidak saja mencegah defisit anggaran BPJS Kesehatan, tetapi juga cukup untuk membayar semua klaim layanan kesehatan.

Dengan menaikkan cukai lebih dari 57%, pemerintah tidak hanya mampu membayar premi bagi penduduk miskin, tetapi juga kelompok masyarakat rentan miskin dan mensubsidi pekerja penerima upah. Dengan begitu Indonesia lebih cepat mencapai Universal Health Coverage pada 2019.

Pemicu Penyakit
Sementara itu, Menteri Kesehatan, Nila Djuwita Moeloek, mengatakan, tren kasus penyakit tidak menular (PTM), seperti stroke, diabetes melitus, kanker, paru obstruktif dan jantung terus meningkat di Indonesia. Angka kematian akibat penyakit ini meningkat dari 37% menjadi 57% di akhir 2015.

Hal ini dipicu perubahan gaya hidup masyarakat, di antaranya tingginya konsumsi rokok pada semua kalangan. “Rokok adalah faktor utama risiko terjadinya berbagai penyakit tidak menular, yang merupakan penyebab kematian utama di dunia, termasuk negara kita,” kata Menkes.

Perokok berpotensi 10 kali lipat lebih besar untuk terjadi infeksi dan gangguan saluran pernapasan, termasuk kanker paru. Kematian akibat kanker paru 75% berkaitan erat dengan rokok. Perokok juga berpotensi tiga kali lipat terkena penyakit jantung dan stroke.

Meningkatnya penyakit terkait rokok ini juga berdampak pada pembiayaan program JKN. Hampir 30% atau sekitar Rp 7 triliun dana JKN habis terserap untuk penyakit katastropik yang erat kaitannya dengan merokok.

Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemkes Soewarta Kosen dalam suatu kesempatan menyebutkan, kerugian makro akibat konsumsi rokok pada 2013 mencapai Rp 378,75 triliun. Jumlah ini berasal dari kerugian membeli rokok Rp 138 triliun, hilangnya produktivitas akibat sakit, disabilitas dan kematian usia muda sebesar Rp 235,4 triliun, dan biaya berobat akibat penyakit terkait rokok Rp 5,35 triliun.

Sumber