Jakarta -
Penghargaan yang diberikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro terhadap empat perusahaan rokok atas kontribusi mereka terhadap penerimaan cukai 2015 dianggap sebagai sesat pikir oleh lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat Bersatu (KRB). Kelompok itu juga meminta Bambang segera mencabut penghargaan tersebut.

"Upaya yang dilakukan Pak Menkeu adalah bentuk sesat pikir, sesat paham terhadap fungsi cukai itu sendiri," kata Sekjen KRB Hery Chariansyah dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/2).

Menurutnya, kalau memang ada penghargaan, seharusnya diberikan kepada konsumen rokok karena merekalah yang membayar cukai dalam bentuk PPN.

"Kalau mau diberi penghargaan, ya perokoknya yang diberi penghargaan. Karena cukai rokok itu dibayar oleh perokok, bukan industri. Ini jadi indikator pemerintah tunduk kepada industri. Oleh karena itu, kita mendesak Pak Menkeu untuk mencabut penghargaan tersebut," tegasnya.

Sementara itu, Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi UI mengatakan bahwa penghargaan tersebut merupakan bentuk inferioritas pemerintah terhadap pengusaha.

"Kenapa yang ini diberi penghargaan? Padahal kan ini cukai, yang secara filosofis barangnya itu untuk dikurangi konsumsinya. Seolah-seolah kalau dikasih penghargaan, industri rokok itu berjasa. Padahal, yang dijual terkait dengan kanker. Apakah layak pengusaha yang jualan rokok, membuat kanker diberikan penghargaan?" ujar Abdillah.

"Kalau penghargaan kepada pembayar pajak atau cukai sebenarnya hal yang wajar, sebagai penghargaan karena mereka patuh. Tapi, dalam hal ini, ini bentuk inferioritas birokrat kepada pengusaha, padahal harusnya mereka kan berada di atas pengusaha."

Salah satu anggota KRB, Jalal, menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya paham arti penerapan cukai sebagai pengendalian terhadap sesuatu. Dalam UU Cukai No.39 tahun 2007 sudah dijelaskan bahwa objek cukai perlu dikendalikan, diawasi peredarannya, berdampak negatif, dan perlu pembebanan demi keadilan.

"Cukai itu kan buat pengendalian, biar konsumsinya turun dan produksinya turun. Apapun yang dikasih cukai itu tandanya merusak. Kenapa malah dikasih penghargaan?"

Selama ini, tambahnya, full cost accounting belum diterapkan dalam cukai rokok. Ia juga menambahkan bahwa Kementerian Kesehatan yang berhak menghitung dampak konsumsi rokok dari segi kesehatan, sementara dampak negatif ekonomi, sosial dan lingkungan belum dihitung sebagai pertimbangan besaran biaya cukai ideal untuk produk seperti rokok.

"Di Indonesia, cukai rokok itu kebangetan kecilnya dibandingkan dengan apa yang seharusnya dibebankan. Kalau kayak begini, membayar cukai ratusan triliun katanya melampaui target, lah wong targetnya rendah banget kok dibanding target ideal yang harus dibayar industri rokok. Nggak pantas sama sekali dapat penghargaan," tandas Jalal.

KRB telah memulai aksinya menolak penghargaan tersebut dengan bentuk petisi online di laman change.org berjudul "Cabut Kembali Penghargaan Menkeu untuk Industri Rokok" sejak seminggu yang lalu.

Hingga hari ini, terhitung 19.670 orang telah menandatangani petisi tersebut. Uniknya, sebagian besar dari mereka mengaku sebagai perokok aktif.

Bertepatan dengan Hari Kanker Sedunia, mereka juga menyerahkan langsung suara publik tersebut kepada Menteri Keuangan.

Sumber