JAKARTA
- Pemberian penghargaan cukai dari Kementerian Keuangan kepada industri rokok mengundang kontroversi. Belum lama ini, 20 ribu suara pernyataan publik mengajukan petisi mendesak Kemenkeu membatalkan penghargaan itu.

Di Indonesia cukai hanya dikenakan pada sejumlah produk seperti rokok, dan minuman beralkohol. Karena konsumsinya merugikan pengguna dan lingkungannya maka harus dikendalikan.

Sejumlah kalangan pun menilai penghargaan tersebut terkesan aneh dan tidak wajar karena yang membayar cukai rokok adalah konsumen rokok, bukan industri rokok. Perokok membeli rokok dengan harga dasar ditambah cukai.

Cukai tidak termasuk ke dalam struktur biaya produksi rokok yang dibebankan kepada industri rokok sehingga sangat tidak layak seandainya penghargaan diberikan atas jasa industri rokok sebagai pembayar cukai terbesar.

Menurut suara publik, pemberian penghargaan akan memicu meningkatkan produksi dan semangat penjualan rokok, karena penerimaan cukai rokok dipacu setinggi-tingginya melalui penjualan batang rokok sebanyak-banyaknya.

Hal ini bertentangan dengan semangat membangun Indonesia sebagai bangsa yang sehat.

Cukai salah satu instrumen efektif dalam pengendalian tembakau, tertuang dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari WHO yang menyarankan besaran cukai mencapai 70 persen.

Indonesia belum meratifikasi konsesus tersebut dengan alasan utama akan merugikan perekonomian, benarkah? Kebijakan pengendalian terbakau melalui cukai dan pajak rokok belum memihak kepada kesehatan masyarakat miskin. Cukai rokok Indonesia masih terlalu rendah sehingga harga rokok menjadi murah.

Laporan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) atau (CHEPS) Universitas Indonesia, di tahun 2015 rata-rata tarif cukai rokok di Indonesia hanya 42 persen dari harga eceran. Sementara, di Brunei, cukai rokok mencapai 67 persen, Malaysia 52 persen, Filipina 53 persen, Singapura 69 persen, dan Thailand 70 persen.

Harga rokok di Indonesia sangatlah murah, sehingga terjangkau oleh ramaja dan penduduk miskin. Sebungkus rokok Marlboro harganya kurang dari USD1,5. Bandingkan di Brunei USD6,5, di Singapura USD9, di Thailand USD3 dan di Malaysia USD3,3.

Murahnya harga rokok menjadi faktor utama perokok baru di kalangan remaja dan kencanduan penduduk miskin di Indonesia, karena mudahnya mendapatkan rokok dengan harga yang terjangkau.

"Studi 2010, pada 20 negara berkembang menunjukkan bahwa ketika harga naik 10 persen, konsumsi rokok remaja turun 18 persen. Kenaikan harga dan cukai mampu mencegah remaja menyandu rokok," kata Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) atau (CHEPS) UI, Hasbullah Thabrany.

Berdasarkan laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007, 2010, 2013) jumlah fantastis perokok aktif kelompok pendapatan termiskin yang mengalami peningkatan signifikan 30 persen di tahun 2001 menjadi 43,8 persen pada 2013.

Jumlah perokok Indonesia 67,4 persen tertinggi di ASEAN, tahun 2013 perokok dewasa berjumlah 121.156.804 juta jiwa, hampir separuhnya dari seluruh penduduk Indonesia.

Survei keluarga miskin perkotaan menunjukkan tiga dari empat kepala keluarga (73,8 persen) merupakan perokok aktif.

Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI, Abdillah Ahsan, mengatakan, konsumsi rokok adalah perangkap kemiskinan karena kebiasaan merokok, status kesehatan rendah, pendapatan yang bisa dibelanjakan menurun, produktivitas kerja menurun, ancaman kematian meningkat.

Secara nasional (data BPS 2006) belanja rokok keluarga miskin perokok menempati urutan terbesar kedua (9 persen) setelah beras (12 persen). Situasi ini, bagi keluarga miskin lebih buruk karena proporsi pengeluaran untuk rokok justru lebih besar dari makanan pokok.

"Survei tahun 2003-2010, belanja rokok rumah tangga termiskin, nomor dua setelah belanja beras dan belanja lainnya seperti ikan, listrik, dan sayur-mayur," katanya.

Bila dikonversikan, konsumsi rokok sebungkus per hari dengan harga rata-rata Rp10 ribu, maka konsumsi per bulan menjadi Rp300 ribu, dan per tahun menjadi Rp3.650.000. Konsumsi per 10 tahun mencapai 3650 bungkus atau Rp36,5 juta.

Biaya ini setara dengan biaya haji, sekolah S1, uang muka cicilan rumah, merenovasi rumah, atau membeli kendaraan, juga bisa untuk modal usaha kecil.

Biaya rokok yang dikeluarkan oleh kelompok rumah tangga termiskin tadi juga setara dengan 13 kali makan daging (0,90 persen), lima kali minum susu atau telur (2,25 persen), dua kali makan ikan (6,06 persen), dua kali makan sayur-sayuran (5,68 persen), enam kali biaya pendidikan (1,88 persen) atau enam kali untuk biaya kesehatan (2,2 persen).

Beban konsumsi rokok berkaitan erat dengan kesehatan, 12,7 persen kematian akibat penyakit terkait dengan merokok, laki-laki 100.680 jiwa, dan perempuan 89.580 jiwa, totalnya 190.260 jiwa.

"Data di dunia menunjukkan penduduk miskin 1,4 kali lebih sering merokok dibandingkan penduduk kaya. Di Indonesia, keluarga miskin menghabiskan 12 persen penghasilannya untuk merokok, sedangkan penduduk kaya hanya membelanjakan tujuh persen dari penghasilannya," kata Abdillah.

Konsumsi rokok juga memberikan beban kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok.

Hasbullah menekankan, rokok menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, kardiovaskular (jantung, pembuluh darah), penyakit paru-paru, kelainan janin, dan impotensi.

"Data dari WHO di 2015, setiap tahun rokok menyebabkan kematian lebih dari enam juta orang di dunia. Setara dengan satu kematian setiap enam detik," katanya.

Di Indonesia, terjadi sekitar 600 kematian per hari akibat penyakit disebabkan oleh rokok. Kematian tersebut dapat dihindari, tapi celakanya jumlah perokok semakin banyak, bahkan di kalangan generasi muda dan masyarakat miskin yang lebih memprihatikan.

Menurut Hasbullah, merokok membuat negara bangkrut karena, mayoritas perokok 43,8 persen adalah orang miskin (Susenas 2012). Sedangkan JKN orang miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibayarkan oleh pemerintah (BPJS Kesehatan, 2014).

"Semakin banyak orang yang merokok, semakin besar beban pemerintah untuk membayar iuran mereka karena penyakit yang berkaitan dengan rokok," katanya.

Menurutnya, peningkatan konsumsi rokok memperberat APBN. Untuk membiaya iuran PBI JKN 2015 pemerintah mengalami defisit sebesar Rp6 triliun, padahal perokok terbanyak di Indonesia berasal dari keluarga termiskin.

Harus Dinaikkan Tahun 2013, penerima cukai Rp103 triliun, sedangkan biaya rawat jalan, rawat inap, dan kehilangan produktivitas akibat penyakit yang berkaitan dengan rokok berjumlah Rp240,7 triliun, lebih dari dua kali lipatnya.

Menurut Hasbullah, jika ditambah dengan belanja rokok (Rp138 triliun), jumlah menjadi tiga kali lipatnya (Rp378,7 triliun). Jumlah total kerugian yang harus ditanggung masyarakat akibat rokok adalah tujuh kali lipat dari anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2015 (Rp52,2 triliun) dan delapan kali lipat anggaran Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2015 (Rp46,8 triliun).

Indonesia tidak diuntungkan dari penjualan rokok, karena pemilik industri rokok 73,9 persen dikuasai perusahaan asing seperti Philip Morris International, Britis American Tobacco, KT & G Group Korea, Japan Tobacco Industri.

"Produksi cengkeh Indonesia dari tahun 2010 hingga 2012 turun 26 persen, sedangkan impor naik 5,308 persen. Impor daun tembakau naik 301 persen, dari 26.546 ton menjadi 106.570 ton," kata Hasbullah.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang peta jalan (roadmap) produksi industri hasil tembakau 2015-2020 memandatkan pertumbuhan produksi 5-7,4 persen per tahun (524 miliar batang). Kebijakan ini dipandang mendukung strategi industri rokok dengan menghilangkan batasan produksi.

Padahal, setiap tahun hanya 20 persen hasil produksi rokok di Indonesia yang diekspor, 80 persen dikonsumsi di dalam negeri.

Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) mengkhawatirkan, target SDGs di tahun 2030 terancam gagal karena konsumsi rokok yang tidak terkendali sehingga mengancam bonus demografi Indonesia.

"Dalam butir SDGs, menyatakan tahun 2030 salah satu dari pertiga kematian dini akibat penyakit tidak menular, dapat dikurangi melalui upaya pencegahan dan pengobatan serta pengendalian tembakau," kata Yuda Kusumaningsing dari JP3T.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Widyastuti Soerojo menekankan peningkatan cukai belum tentu menurunkan daya beli perokok karena sifat adiksinya.

"Kebijakan cukai akan lebih efektif apabila harga rokok tidak terjangkau bagi kelompok rentan (pelajar dan keluarga miskin). Penurunan konsumsi tidak serta merta terjadi, karena perokok itu inelastis. Peningkatan pendapatan dari kenaikan cukai selalu lebih besar dari penurunan konsumsi karena kenaikan cukai," katanya.

Dengan adanya win-win solution dari pemerintah, pendapatan negara lebih tinggi, masyarakat miskin dan pelajar sebagai kelompok rentan terlindungi.

Sumber