JAKARTA - Koordinator Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) Magdalena Sitorus mengatakan, sudah sekitar 13 tahun kelompok perempuan berjuang untuk lahirnya kebijakan kesepakatan bersama dalam hal pengendalian tembakau. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil nyata hingga saat ini.
Apalagi komitmen pemerintahpun belum menunjukan signal yang kuat untuk mendukung upaya pengendalian tembakau karena hanya Kementerian Kesehatan yang merasakan pentingnya kesepakatan bersama dalam pengendalian tembakau atau yang lebih dikenal dengan Framework Convention on Tobacco Control atau disingkat FCTC.
"Perempuan dan anak adalah dua kelompok rentan yang seringkali tidak mempunyai posisi tawar terhadap bahaya rokok, maka itu JP3T bagian dari partisipasi perempuan dengan berbagai pendekatannya guna mendorong masyarakat agar hidup lebih sehat," ujar Magdalena dalam pembukaan Diskusi Terfokus Partisipasi Perempuan Dalam Mendorong Aksesi Kerangka kesepakatan Bersama Pengendalian Tembakau/FCTC di Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Menurut Magdalena, perempuan dan anak menjadi korban dari bahaya rokok diperkuat dengan data dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2010. Penelitian itu menyebutkan, kematian akibat penyakit yang terkait tembakau sebesar 190.260 jiwa yang merupakan 12,7% dari total kematian pada tahun yang sama.
Penelitian yang sama menunjukkan total kerugian ekonomi akibat konsumsi tembakau sebesar Rp245,41 triliun yang terdiri dari biaya kesehatan dan total tahun produktif yang hilang karena kematian terkait konsumsi tembakau. Oleh karena itu pengendalian tembakau merupakan upaya yang harus diambil untuk menurunkan konsumsi dan prevalensi perokok serta biaya kesehatan untuk penyakit akibat rokok.
Sementara itu, perusahaan rokok terus melanjutkan strateginya untuk menargetkan anak-anak sebagai calon konsumen mereka. Salah satu perusahaan rokok terbesar dunia, British American Tobacco (BAT), pemilik lebih dari 60% saham PT. Bentoel mengatakan bahwa, “Laki-laki lebih menggambarkan dunia rokok masa lalu daripada pasar hari esok. Perempuan dan gadis remaja adalah yang kita tuju sebagai sasaran pasar hari esok” (Dokumen BAT No.AQ1121,400477642-655).
Sedangkan Phillip Morris, pemilik saham terbesar Sampoerna, melaporkan dalam dokumen internalnya bahwa, “Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok memulai merokok ketika remaja..” (Laporan Peneliti Myron E. Johnson ke Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Phillip Morris). Strategi ini dilaksanakan salah satunya dengan gencar beriklan dengan pencitraan yang dibuat untuk menyasar anak-anak dan remaja.
Bahwa perusahaan rokok menargetkan anak-anak sebagai calon konsumennya dibuktikan oleh monitoring iklan rokok oleh Lentera Anak Indonesia di sekitar sekolah di 5 kota pada tahun 2015. Monitoring tersebut mengungkapkan bahwa 85% sekolah dikelilingi iklan rokok dan 30 merek rokok dengan bebasnya beriklan di sekitar sekolah.
Sementara itu Ketua Lentera Anak Indonesia, Lisda Sundari mengatakan, sekolah merupakan tempat yang strategis bagi perusahaan rokok untuk beriklan, sebab sekolah adalah tempat anak-anak berkumpul setiap harinya. Dari 360 sekolah yang dipantau, 85% sekolah dikelilingi oleh iklan rokok. Bahkan di sekolah-sekolah ini, iklan rokok dipasang di pagar-pagar sekolah sebagaimana yang ditemukan di Padang, Mataram dan Makasar.
Riset Universitas Muhammadiyah Magelang mengenai tingkat kesejahteraan petani juga menunjukkan bahwa kesejahteraan petani tembakau bukan hanya semata-mata berasal dari dari pertanian tembakau. Para petani juga mengandalkan pada tanaman lain. Data lain menunjukkan pada 2005 hanya 1,7% petani yang menanam tembakau sebagai salah satu hasil panennya.
Produksi tembakau di Indonesia turun 33% dari 204.000 ton pada 2000 menjadi 136.000 ton pada 2010. Luas lahan tembakau juga berkurang 17% dari 261.000 hektare pada 2001 menjadi 216.000 pada 2010. Peningkatan konsumsi rokok tidak berbanding lurus dengan peningkatan hasil pertanian tembakau dari dalam negeri. Sebaliknya, impor tembakau justru meningkat dari 18% pada 1990 menjadi 52% pada 2010.
FCTC adalah perjanjian internasional yang mengatur tentang pengendalian masalah tembakau sebagai hasil egosiasi192 negara anggota Badan Kesehatan Dunia(World Health Organization-WHO). Sebagai produk hukum internasional yang bersifat mengikat(internationally legally binding instrument) bagi negara-negara yang meratifikasinya
Saat ini FCTC yang telah diratifikasi di 180 negara yang sepakat bahwa tembakau (terutama) rokok harus dikendalikan konsumsinya. Indonesia satu-satunya Negara di ASIA yang belum meratifikasi FCTC. Di Indonesia, keengganan meratifikasi menjadi batu sandungan bagi upaya pengendalian tembakau untuk pencegahan penyakit akibat konsumsi rokok. Tak heran jika konsumsi rokok di dalam negeri terus meningkat. Peningkatan prevalensi perokok dewasa pada tahun 1995 mencapai 53,4% laki-laki dan 1,7% perempuan. Selama kurun waktu 15 tahun, perokok dewasa laki-laki meningkat menjadi 65,9% dan perempuan menjadi 4,2%.
Diskusi Terfokus ini juga dihadiri lintas Kementerian yaitu; Kementerian Kesehatan, Kementrian Sosial, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Kementerian Tenaga Kerja dan Kemenko PMK serta Organisasi Perempuan lainnya.
Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T) dibentuk pada Agustus 2011 atas prakarsa enam organisasi perempuan yang terdiri dari: Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender, Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2), Sahabat Perempuan dan Anak Indonesia (SAPA Indonesia), Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KePPak) dan Rindang Banua. JP3T lahir karena keprihatinan bersama terhadap menurunnya kesehatan dan kualitas hidup perempuan dan anak Indonesia saat ini akibat terpapar asap rokok.