Jakarta - Upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah perokok dikatakan Peneliti Lembaga Demografi FEUI Abdillah Ahsan jangan menjadi sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan berlebihan. Seperti diketahui, banyak tenaga kerja terserap di industri tersebut.
Terkait industri rokok yang banyak menyerap tenaga kerja, Abdillah mengatakan, sekarang sudah terjadi tren di mana pembuatan rokok beralih ke mekanisasi, sehingga pengusaha rokok mulai mengurangi karyawannya. Untuk menanganinya, pemerintah perlu menggandeng pengusaha dalam memberikan pelatihan.
"Ada dana bagi hasil cukai, sebagian dari cukai dikembalikan ke daerah penghasil rokok dan dipakai untuk membantu para pekerja meningkatkan keterampilannya. Perlu dikasih pelatihan dan rekomendasi. Jangan diberhentikan secara mendadak," ujarnya, di Jakarta, Kamis (7/1).
BPS sebelumnya, pada tahun 2010 pernah melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di Indonesia menghabiskan 5,9% pengeluarannya untuk tembakau dan rokok. Persentase ini memang terlihat kecil. Namun ternyata nilai ini sangat besar jika kita bandingkan dengan komponen-komponen konsumsi lainnya atau jika diklasifikasikan berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat.
Pertama, secara umum, ternyata rumah tangga di pedesaan mengeluarkan porsi belanja yang lebih besar untuk tembakau dan rokok dibandingkan rumah tangga di perkotaan. Rumah tangga di pedesaan menghabiskan 6,4% dari pengeluarannya untuk tembakau dan rokok sedangkan rumah tangga di perkotaan menghabiskan 5,2% pengeluarannya untuk tembakau dan rokok.
Hal yang sama juga ditemukan jika dilihat komposisi pengeluaran rumah tangga ini pada kelompok 40% rumah tangga termiskin di Indonesia. Pada kelompok ini, rumah tangga pedesaan juga mengeluarkan lebih banyak porsi belanjanya untuk tembakau dan rokok yaitu sebesar 6% sedangkan rumah tangga di perkotaan membelanjakan rata-rata 5,7% dari total pengeluarannya untuk tembakau dan rokok.
Lebih lanjut, jika dilihat komposisi belanja di masyarakat yang lebih miskin lagi yaitu kelompok 20% rumah tangga termiskin di Indonesia, kondisi yang sama juga terjadi. Rumah tangga di pedesaan secara rata-rata membelanjakan porsi pengeluaran yang lebih besar untuk tembakau dan rokok yaitu sebesar 5,3% dibandingkan porsi belanja sebesar 5% yang dibelanjakan rumah tangga di perkotaan untuk tembakau dan rokok.
Adapun, sebagian besar masyarakat miskin Indonesia tinggal di pedesaan. Sehingga dengan kondisi di atas, dapat kita lihat bahwa justru ketergantungan pada tembakau dan rokok lebih kuat pada masyarakat di pedesaan yang justru banyak masih harus bergelut dengan kemiskinan.
Hal yang patut dicermati adalah besarnya porsi pengeluaran untuk tembakau dan rokok jika dibandingkan dengan komponen-komponen pengeluaran rumah tangga lainnya. Di mana, pengeluaran untuk tembakau dan rokok secara konsisten pada setiap kelompok masyarakat ternyata memiliki porsi yang lebih besar daripada pengeluaran untuk kelompok-kelompok barang makanan lain seperti daging dan produk daging, ikan segar, telur, dan susu. Bahkan porsi pengeluaran rumah tangga untuk tembakau dan rokok pun masih lebih besar daripada pengeluaran untuk pendidikan, perlengkapan pendidikan mapun kesehatan.
Secara rata-rata bahkan pengeluaran rumah tangga di pedesaan untuk tembakau dan rokok dibandingkan dengan pengeluran untuk pendidikan berbanding 3:1. Sedangkan jika dibandingkan terhadap pengeluaran untuk buku, alat tulus dan perlengkapan pendidikan lainnya, perbandingannya menjadi 10:1.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kecanduan pada rokok merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu rumah tangga bisa terjebak dalam perangkap kemiskinan.