JAKARTA - Koordinator Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Anindita Sitepu mengatakan, pemerintah mesti berkomitmen untuk menyusun peta jalan (roadmap) pengurangan jumlah perokok di Indonesia.
Dalam konteks ini, Presiden Joko Widodo dinilai perlu mengomandoi langsung koordinasi penyusunan peta ini. "Penyusunan peta jalan pengurangan jumlah perokok sangat mendesak disusun,'' kata Anindita menjelaskan saat berkunjung ke kantor Republika, Rabu (24/8).
Urgensi adanya peta jalan, jelas dia, karena saat ini jumlah perokok kian tinggi sehingga dapat disebut sebagai kondisi darurat nasional. Karena itu, idealnya memang koordinasi penyusunan peta jalan dikoordinasikan langsung di bawah Presiden.
Pihaknya berpendapat, intervensi langsung dari Presiden sangat perlu sebab pengurangan jumlah perokok dipastikan akan melibatkan berbagai sektor, yakni kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan kehutanan.
"Koordinasi oleh Presiden juga menunjukkan adanya komitmen negara hadir dalam melindungi pemuda sebagai pihak perokok pemula dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah sebagai konsumen terbesar rokok," ujar Anindita menegaskan.
Poin-poin yang bisa masuk ke peta jalan adalah pencegahan kepada perokok pemula dan konseling bagi perokok aktif. Peta jalan, kata Anindita, sebaiknya diterapkan untuk lebih menyempurnakan kebijakan kenaikan harga rokok.
CISDI memandang wacana kenaikan harga rokok akan mengurangi kemampuan anak, remaja, dan masyarakat miskin untuk membeli rokok. Anindita menyarankan, sebaiknya ada lima kebijakan yang menyertai kenaikan harga rokok.
Kelima kebijakan itu adalah penegakan hukum, pendampingan bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok karena tak mampu lagi membeli, perlindungan kepada petani tembakau, pelibatan pemerintah daerah, serta sosialisasi tujuan kenaikan harga rokok.
Wakil Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi mendorong pemerintah mulai menyusun kebijakan edukasi preventif kepada perokok pemula dan calon perokok pemula. Data IAKMI mencatat, perokok aktif di Indonesia 70 juta orang.
Jumlah itu terdiri atas perokok dewasa 65 juta orang dan perokok muda (5,3 juta orang). IAKMI saat ini berkomitmen dalam menyelamatkan kesehatan para perokok muda. Data 2001 hingga 2010 menyebutkan, jumlah perokok muda dari usia 10 tahun hingga 14 tahun terus bertambah.
Pada 2001, jumlah perokok usia 10 tahun hingga 14 tahun sebanyak 1,9 juta orang. Pada 2010, jumlahnya meningkat hingga mencapai 3,9 juta orang. "Kebijakan kenaikan harga jual rokok tentu kami dukung, asalkan memberikan porsi perlindungan kepada para perokok pemula.''
Di sisi lain, ia menganggap pemerintah belum tegas menyikapi intervensi industri rokok di Indonesia. Menurut dia, intervensi industri rokok di Indonesia paling tinggi di antara enam negara lain di kawasan ASEAN.
Intervensi itu, jelas dia, diukur berdasarkan indeks campur tangan industri tembakau di tujuh negara ASEAN selama dua periode, yakni periode 2014 dan 2015. Dalam perhitungan, ada tujuh indikator yang digunakan.
Indikator tersebut adalah partisipasi dan pengusulan kebijakan, kegiatan yang diklaim sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR), manfaat bagi industri tembakau, bentuk intervensi yang tidak perlu, transparansi, konflik kepentingan, serta tindakan pencegahan.
Dari ketujuh indikasi itu, nilai intervensi di Indonesia selama dua tahun berturut-turut mencapai 78 poin dan 82 poin. Sebagai perbandingan, ungkap Husein, pada periode yang sama di Filipina, nilai intervensi hanya 65 dan 71 poin.
Bentuk intervensi industri rokok dapat dilihat dari tindakan pemerintah yang belum meratifikasi konvensi mengenai kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC). Pemerintah juga melibatkan langsung perwakilan industri rokok dalam mengambil kebijakan pertembakauan.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menuturkan, tekanan petani tembakau dan pekerja industri rokok membuat pemerintah kendur.
Ini terindikasi dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menegaskan, harga rokok tak akan sampai Rp 50 ribu per bungkus. Petani dan pekerja mengancam melakukan aksi besar dan pemerintah terlalu sensitif dengan ancaman itu.
Petani dan pekerja industri rokok perlu memahami bahwa saat rokok naik bukan berarti pembeli tidak ada. Berdasarkan survei lembaga yang dipimpinnya terhadap 1.000 perokok se-Indonesia, 76 persen responden setuju harga rokok dinaikkan.
Bahkan, bila harga rokok lebih dari Rp 50 ribu pun, ada sebagian dari mereka tak keberatan dan mereka akan berhenti merokok. Jika kenaikan harga di Rp 35 ribu per bungkus, para perokok akan tetap membeli rokok.
Anggota Komisi IV DPR Akmal Pasluddin mengatakan, tingginya harga rokok mampu mengendalikan konsumsi rokok dari sisi usia juga dari sisi tingkat ekonomi masyarakat. Jika harga rokok tinggi, akan memberikan dampak positif pada kualitas generasi muda.
''Saya berharap pemerintah tidak masuk angin dengan mengurungkan niatnya menaikkan harga rokok,'' ujar Akmal. Ia menuturkan, bisa saja para pengusaha rokok yang merupakan orang-orang terkaya di Indonesia melobi pemerintah.
Harga rokok di Indonesia, kata Akmal, menempati urutan ketujuh termurah di dunia setelah Pakistan, Vietnam, Nikaragua, Kamboja, Filipina, dan Kazakhstan. Dengan murahnya harga rokok, membuatnya mudah dibeli siapa saja.