YOGYAKARTA - Sebanyak 200 ribu orang Indonesia meninggal karena merokok setiap tahun. Jumlah ini cukup tinggi dibanding total kematian akibat merokok di seluruh dunia yang mencapai enam juta per tahun, menurut data Badan Kesehatan Dunia pada 2011.
“Indonesia dikenal ramah untuk memasarkan industri rokok meskipun ada regulasi pengendalian tembakau,” kata Tara Singh Bam, Deputi Regional Asia-Pasifik UNION, dalam The 3rd Indonesian Conference on Tobacco or Health di Yogyakarta, Sabtu, 26 November 2016.
Menurut Tara, ramahnya Indonesia terhadap industri rokok di antaranya terlihat pada kecilnya peringatan bergambar dalam kemasan rokok. “Bahkan persentase peringatan bergambar di Indonesia sebesar 40 persen dari kemasan itu lebih kecil daripada Thailand sebesar 85 persen dan Nepal 90 persen.”
Padahal, ucap Tara, besarnya porsi peringatan bergambar ini terbukti efektif menurunkan konsumsi tembakau. Indonesia dengan luas 40 persen peringatan bergambar pada kemasan rokok berhasil menurunkan konsumsi hingga 27 persen. “Sedangkan di Nepal, dengan 90 persen luas peringatan bergambar, konsumsi turun sampai 55 persen,” ujarnya.
Tara mengajak semua pemangku kepentingan bergandengan tangan untuk meningkatkan peringatan bergambar setidaknya sampai 90 persen. “Lebih bagus lagi jika bisa meniru Australia yang membuat kemasan rokok standar,” tuturnya.
Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Anhari Achadi, mengatakan campur tangan industri rokok dalam membuat kebijakan itu merupakan yang paling tinggi. “Bahkan paling tinggi di negara-negara ASEAN,” ucapnya.
Dia menjelaskan, ada 20 indikator yang sudah diteliti tentang campur tangan industri rokok. “Indonesia yang paling tinggi dengan nilai 84 dari skala 100, misalnya campur tangan industri dalam pendidikan, pelayanan masyarakat, lingkungan, dan kebudayaan,” katanya.
Dalam hal kebijakan, ujar Anhari, intervensi itu terlihat saat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003. Pada salah satu pasal dalam peraturan pemerintah itu, aturan mengenai level kandungan maksimal yang diperbolehkan untuk nikotin dan tar dihilangkan.
Aturan ini kemudian diamandemen dengan PP Nomor 109 Tahun 2012. Bahkan peraturan pemerintah itu mengharuskan pencantuman peringatan bergambar pada kemasan rokok.
Anhari menuturkan intervensi industri rokok juga terlihat saat pelaksanaan kawasan tanpa rokok yang tidak optimal. “Pemerintah daerah sebenarnya berwenang melaksanakan KTR, tapi tidak ada pemaksaan,” ucapnya.
Sumber: Tempo.com