Penanganan kemiskinan ternyata tak hanya mengentaskan orang miskin semata, tetapi yang juga tak kalah penting adalah memberi pemahaman, sekaligus membangun kesadaran agar mereka bisa menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya. Hal tersebut tak lepas dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pengeluaran kedua terbesar dari masyarakat miskin adalah rokok.

Selama ini, kampanye antirokok yang digalang Kementerian Kesehatan dan sebagian kelompok masyarakat ternyata tak mempan bagi keluarga miskin. Selain beras, mereka lebih memprioritaskan untuk membeli rokok ketimbang makanan lain atau memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan keluarga.

Uang yang pas-pasan, bahkan cenderung kurang, justru lebih mudah dibakar melalui rokok. Padahal, mereka mempunyai pilihan lain yang jauh lebih baik untuk meningkatkan kualitas kesehatan diri sendiri maupun keluarga. Sayangnya, pilihan yang lebih baik itu justru diabaikan karena belum tumbuhnya kesadaran pada kaum miskin bahwa rokok merusak kesehatan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Bertolak dari kenyataan tersebut, sesungguhnya pemerintah memiliki tugas berat untuk menangani kedua persoalan tersebut. Penanganan kemiskinan harus berjalan simultan dengan sosialisasi yang lebih masif tentang bahaya rokok.

Selama September 2014 hingga September 2015, jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 780.000 menjadi 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total penduduk dengan sebaran 10,62 juta jiwa berada di perkotaan dan 17,89 juta jiwa di perdesaan. Angka kemiskinan ini dihitung berdasarkan patokan pengeluaran Rp 345.000 per kapita per bulan atau masih kurang dari US$ 1 sehari. Bila garis kemiskinan ditingkatkan menjadi US$ 2, jumlah penduduk miskin akan melonjak menjadi 120-an juta. Itu jumlah yang sangat besar bagi negeri yang sudah merdeka 70 tahun.

Jawaban jitu untuk mengatasi persoalan kemiskinan adalah pembukaan lapangan pekerjaan. Indonesia masih memiliki potensi yang luar biasa untuk membangun industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Selain itu, industri tekstil, alas kaki, dan elektronik juga masih cukup menjanjikan. Semua itu bisa terwujud apabila pemerintah bisa menarik sebanyak mungkin investasi asing serta memaksimalkan berbagai potensi di dalam negeri dalam upaya membuka jutaan lapangan pekerjaan setiap tahun.

Sejumlah kebijakan yang ditempuh pemerintah, khususnya dalam upaya menarik investor asing, sudah mulai menunjukkan hasil. Berbagai kebijakan yang pro-investasi harus terus dipacu, sambil tetap melakukan perbaikan karena masih ada kekurangan di sana-sini. Perekonomian dalam negeri harus bergerak lebih kencang melalui pemanfaatan dana APBN dan memutar dana masyarakat di perbankan lewat penyaluran kredit.

Kebijakan pemerintah yang lebih gencar membangun infrastuktur mulai tahun ini ikut berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Berbagai proyek yang bersumber dari dana desa juga akan mengurangi jumlah pengangguran.

Sejalan dengan itu, Kementerian Kesehatan yang dibantu pemerintah daerah juga harus lebih gencar mengampanyekan program antirokok. Bila tidak, hasil jerih payah kaum miskin, pemerintah, pengusaha, dan masyarakat akan sia-sia karena ikut terbakar bersama asap rokok. Uang hasil keringat kaum papa hendaknya dimanfaatkan untuk membeli makanan bergizi serta memenuhi biaya pendidikan dan kesehatan keluarga, ketimbang untuk dibelikan rokok.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan untuk menaikkan secara signifikan cukai rokok. Dengan demikian, harga rokok akan semakin mahal, sehingga tidak mudah bagi kelompok masyarakat miskin untuk mengonsumsinya. Apabila harga sebungkus rokok minimal Rp 50.000, kita yakin pengeluaran orang miskin untuk rokok akan berkurang drastis. Apalagi, pemerintah juga membuat ketentuan bahwa rokok tidak boleh dijual eceran dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu.

Tentu saja, pemerintah pun harus menyiapkan skenario pengurangan ketergantungan penerimaan negara dari cukai rokok yang tahun ini ditargetkan mencapai Rp 146 triliun, membuat program alih tanam tembakau, serta menyiapkan lapangan pekerjaan baru bagi buruh pabrik rokok.

Kita akui semua itu merupakan pekerjaan yang sangat berat, sehingga dibutuhkan political will dan tekad baja untuk tidak menempatkan rokok sebagai kebutuhan hidup dan sumber pendapatan negara. Memang, rokok bisa menghasilkan cukai hingga hampir Rp 150 triliun, menyerap sekitar 6,5 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir, serta memiliki multiplier effect.

Tetapi, kita jangan lupa bahwa kerugian ekonomi akibat merokok mencapai hampir Rp 380 triliun (data Balitbangkes 2013) serta penderita penyakit dan korban meninggal akibat mengonsumsi tembakau juga terus meningkat. Saatnya kita lebih serius menolak rokok dan tembakau!

Sumber