Rokok atau industri hasil tembakau layak disebut mengancam kesehatan bangsa. Bagaimana tidak, Indonesia yang akan menikmati bonus demografi pada 2020-2045 kemungkinan tak kan menikmatinya. Karena, penduduk usia produktif justru rentan terkena penyakit karena rokok.

Dewan Pembina Indonesia International Institute for Life Sciences Emil Salim mengatakan, pada 2020-2045, Indonesia akan mengalami bonus demografi.

Namun, kualitas penduduk dalam bonus demografi tersebut akan sangat mengkhawatirkan karena konsumsi produk yang merugikan, salah satunya rokok.

Emil menjelaskan, bonus demografi tersebut sebenarnya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Namun, sayangnya, investasi sumber daya manusia ini mengkha watirkan karena konsumsi rokok.

"Pemerintah harus mengutamakan kualitas kesehatan generasi pada usia 15-19 tahun agar bisa lepas landas pada 2045, tetapi gene rasi ini yang paling banyak disasar oleh industri rokok," ujar Emil dalam diskusi "Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok", Kamis (14/4).

Emil mengatakan, dalam roadmapindustri tembakau oleh Kementerian Perindustrian, produksi rokok Indonesia pada 2016 diproyeksikan mencapai 421,1 miliar batang dan pada 2020 sebesar 524,2 miliar batang. Dari total produksi rokok yang diproyeksikan tersebut, paling banyak peningkatannya adalah sigaret keretek mesin "mild", yaitu dari 121,3 miliar batang pada 2016 men jadi 306,2 miliar batang pada 2020. 

Wakabid Penelitian Lembaga Demografi FEUI Abdillah Ahsan mengatakan, sebagian dari biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

digunakan untuk membayar penyakit akibat rokok. Hal ini mengakibatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara akan semakin meningkat.

Berdasarkan data Riskerda 2007, ucap Ahsan, proporsi konsumsi tembakau pada peserta jaminan kesehatan untuk yang merokok setiap hari mencapai 25,9 persen dan peserta yang merokok kadang- kadang sebesar lima persen.

Sedangkan, karakteristik perokok berdasarkan kelompok usia dan kepemilikan jaminan kesehatan, yakni usia 35-44 tahun sebesar 24,9 persen dan usia 25-34 tahun sebesar 24 persen.

Abdillah menegaskan, semakin banyak konsumsi rokok, biaya kesehatan yang ditanggung oleh negara akan semakin tinggi. Oleh karena itu, industri rokok perlu dikawal dari hulu sampai hilir. Bahkan, kerugian makroekonomi akibat merokok mencapai Rp 44 triliun per tahun. 

Sementara, biaya manfaat JKN akibat penyakit terkait dengan tembakau pada 2015 mencapai Rp 427,47 miliar untuk penyakit paru obstruktif kronis. Kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian akibat rokok sebesar Rp 105,3 triliun.

Sumber