JAKARTA - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heri Pambudi menyatakan realisasi penerimaan cukai 2015 adalah Rp144,6 triliun atau setara dengan 99,2 persen dari target Rp145,7 triliun. Menurut Heri, hanya ada satu komponen cukai yang melampaui target, yaitu cukai rokok. Pada tahun 2015, penerimaan cukai rokok Rp139,5 triliun rupiah atau setara dengan 100,3 persen dari target penerimaan cukai.

Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim mengatakan bahwa penerimaan cukai dari rokok dari tahun ke tahun memang selalu meningkat, bahkan melebihi target.

"Namun, menganggap hal tersebut sebagai sumbangan industri rokok merupakan sebuah kesesatan berpikir pimpinan negara ini," katanya.

Ifdhal mengatakan bahwa selama ini industri rokok dan para pendukungnya selalu menyatakan peningkatan penerimaan cukai rokok sebagai salah satu kontribusi industri bagi perekonomian bangsa.

Bahkan, pendapatan cukai disamakan dengan penerimaan negara dari sektor lain seperti pajak yang merupakan kewajiban dan kontribusi warga negara kepada negara. Menurut Ifdhal, terdapat tiga kesesatan pikir yang fatal dalam memandang cukai.

"Sesat pikir yang terjadi adalah cukai dibayar oleh konsumen rokok, bukan oleh produsen. Cukai berbeda dengan pajak yang merupakan instrumen penerimaan negara yang dikenakan kepada rakyat sebagai bentuk kontribusi dalam pembangunan," tuturnya.

Selama ini kerap diberitakan kontribusi industri rokok melalui penerimaan cukai yang tinggi. Padahal, cukai dibayar oleh para perokok. Negara telah menetapkan aturan mengenai cukai melalui Kementerian Keuangan untuk dibebankan kepada konsumen.

Dalam penjualan rokok, produsen membeli pita cukai sebelum mereka menjual produk rokok kepada konsumen. Dalam setiap batang rokok yang dibeli konsumen, salah satu komponen harganya adalah cukai.

Cukai berbeda dengan pajak yang dikenakan kepada rakyat sebagai bentuk kontribusi dalam pembangunan. Cukai merupakan instrumen pengendalian yang dikenakan terhadap suatu produk yang berbahaya untuk mengurangi dampak negatifnya.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menyebutkan cukai dikenakan kepada barang-barang tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Menurut Undang-Undang tentang Cukai, terdapat tiga jenis barang kena cukai, yaitu produk tembakau, etil alkohol, dan minuman yang mengandung etil alkohol.

Karena dimaksudkan sebagai instrumen pengendalian, Ifdhal menilai peningkatan pendapatan cukai rokok bukanlah sebuah prestasi, melainkan menunjukkan kegagalan pengendalian.

"Keberhasilan dan efektivitas regulasi cukai adalah apabila mampu mengendalikan konsumsinya sehingga tidak meningkat secara terus-menerus dengan drastis, bukan peningkatan realisasi pendapatan cukai," katanya.

Meskipun tarif cukai selalu ditingkatkan, kata Ifdhal, ternyata belum berpengaruh terhadap keterjangkauan masyarakat sehingga konsumsi rokok masih tetap, bahkan makin tinggi.

Menurut Ifdhal, hal itu merupakan sebuah kabar buruk, apalagi Badan Pusat Statistik (BPS) merilis konsumsi rokok adalah salah satu faktor inflasi dan pendorong kemiskinan di kalangan warga Indonesia.

"Sikap yang paling tepat adalah dengan memperketat peraturan terkait dengan konsumsi rokok, di antaranya dengan meningkatkan harga, melarang iklan secara total, dan instrumen lain yang terbukti sudah efektif dilakukan di negara lain dalam upaya pengendalian konsumsi rokok," tuturnya.

Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau mendesak pemerintah untuk segera mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kami ingin mengingatkan pemerintah untuk menjalankan mandat sesuai dengan konstitusi untuk melindungi kepentingan publik dan tidak tunduk pada tekanan industri rokok," katanya.

Berkontribusi pada Kemiskinan Kepala BPS Suryamin mengatakan bahwa rokok termasuk komoditas yang memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap garis kemiskinan, baik di perkotaan maupun perdesaan.

"Kontribusi rokok pada garis kemiskinan 8,08 persen di perkotaan dan 7,68 persen di perdesaan," jelasnya.

Jerat konsumsi tembakau terhadap kemiskinan sebenarnya bukan tidak menjadi perhatian pemerintah. Bahkan, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla sudah menyatakan rokok berkontribusi terhadap peningkatan kemiskinan dan Indonesia saat ini sudah "lampu merah".

"Coba perusahaan apa yang sekarang terbesar di Indonesia? Hampir semua perusahaan rokok. Sampoerna sekarang begitu hebatnya. Bisnis rokok ini bukan turun, melainkan naik. Jadi, memang itu lampu merah sebenarnya yang kita harus atasi," kata Kalla.

Kalla mengatakan bahwa konsumsi rokok masyarakat miskin menjadi tambahan beban pengeluaran yang sebenarnya tidak diperlukan. Kemiskinan ditandai dengan pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatan, dan rokok makin memperbesar pengeluaran sehingga memengaruhi angka kemiskinan Indonesia.

Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa konsumsi rokok memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengeluaran rumah tangga miskin di Indonesia.

Menurut Abdillah, pengeluaran rumah tangga terkaya untuk membeli rokok sebesar 7 persen dari total pembelanjaan, sedangkan pada rumah tangga termiskin, pengeluaran untuk membeli rokok mencapai 12,58 persen.

"Pengeluaran rumah tangga termiskin untuk membeli rokok terbesar kedua setelah padi-padian yang mencapai 19,3 persen. Pengeluaran untuk membeli rokok lebih banyak dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan gizi, biaya kesehatan, dan pendidikan," katanya.

Selain itu, pengeluaran rumah tangga termiskin untuk membeli tembakau nilai relatif stabil di kisaran 12 persen selama 2003 hingga 2013. Namun, pengeluaran untuk membeli padi-padian mengalami penurunan dari kisaran 19 persen pada tahun 2003 menjadi kisaran 15 persen pada tahun 2013.

"Itu menunjukkan rumah tangga termiskin lebih rela mengurangi konsumsi padi-padian daripada konsumsi rokok," ujarnya.

Abdillah menyebutkan salah satu cara untuk mengerem konsumsi tembakau di kalangan masyarakat miskin adalah dengan menaikkan harga rokok melalui instrumen cukai. Cara tersebut juga dilakukan di negara-negara lain dan terbukti efektif mengurangi konsumsi rokok.

"Survei yang dilakukan Lembaga Demografi UI menemukan bahwa perokok dari rumah tangga miskin baru akan berhenti merokok bila harga rokok berada di kisaran Rp50 ribu per bungkus," katanya.

Namun, Abdillah menilai kebijakan cukai tembakau di Indonesia saat ini relatif sangat rumit dan berlapis-lapis. Saat ini, terdapat delapan lapis tarif rokok berdasarkan jenis dan produksinya.

"Perlu ada penyederhanaan tarif cukai tembakau. Selain itu, tarifnya juga perlu dinaikkan karena saat ini cukai tembakau terlalu rendah, maksimal hanya 57 persen. Mengapa tidak disamakan dengan alkohol sebagai sama-sama barang kena cukai? Cukai alkohol saat ini sudah mencapai 80 persen," katanya.

Sumber